kutub berbeda

770 54 1
                                    

Evan menoleh ke Santi namun juga tak banyak menanggapi. Ia masih terduduk di situ, bersedekap dengan kedua lutut kakinya itu menjadi penopang dagunya.

"Segitu sedihnya Van?" Tanya Santi pada Evan sambil berjalan mendekatinya. "Sampe duduk aja gak di kursi, malah di tanah gini. Lo masih waras kan Van?" Bukanya menghibur, Santi justru meledek sahabatnya yang paling ganteng itu. Karena menurutnya lucu saja, belum pernah Evan galau sampai seperti ini.

"Emang selama ini gue kurang perhatian ya San sama Kiya? Kenapa sih dia gak peka juga sama gue. Kesel tau gak sih jadinnya." Evan curhat terang-terangan. Karena memang sudah tak ada lagi yang bisa ditutup-tutupi dari Santi. Santi juga pasti sudah tau semuanya.

"Lagian lo juga kenapa main kode-kodean gitu? Udah tau kan kalo Kiya itu gak peka banget orangnya. Tau juga gimana masalalu dia, jadi ya mana bisa tu anak asal baper aja sama lo. Mikir Van mikir, ini juga gak sepenuhnya salah dia."

"Terus maksud lo, gue yang salah gitu?" Evan tak terima dengan perkataan Santi tentunya.

"Ya bukan gitu juga, emang ada gue bilang kalo lo yang salah? Ini namanya takdir aja. Lo nya kalah star itu namanya. Ni ya dengerin gue baik-baik, jika kamu benar-benar mencintai orang itu, belajarlah untuk menunggu. Mungkin kamu tak ditakdirkan untuk bersamanya hari ini, tapi ditakdirkan bersamanya di masa depan." Santi tersenyum merekah setelah mengatakan kata-kata mutiara itu.

Mendengar itu Evan langsung berdiri dari duduknya lantas langsung membawa Santi dalam pelukannya. "Sejak kapan lo bisa bijak kaya gini? Kenapa juga harus lo yang datang di saat gue kaya gini?"

Santi sontak terkejut karena perbuatan Evan. Bisa-bisanya tanpa permisi Evan langsung memeluknya seperti ini. Seperti ada yang berdetak lebih cepat, ia juga menjadi tak bisa berkata-kata sekarang. Sebelum semuanya menjadi semakin aneh__ "Ih apaan sih Van." Santi langsung melepas paksa pelukan Evan itu darinya. "Modus lo ya, geli banget gue sumpah deh."

"Elah San baikin gue bentar aja emang gak bisa ya? Lo nyebelin banget sih ini. Cuman__ thanks lah, lo udah bikin perasaan gue jadi sedikit lebih tenang." Evan kali ini langsung duduk, namun tak lagi duduk di tanah melainkan di kursi panjang yang terletak di taman belakang kampus yang memang jarang terjamah oleh mahasiswa lain karena kondisinya juga sudah tak terawat lagi.

Santi ikut duduk di kursi itu. Ia memang tak pernah berbicara seperti ini pada Evan. Lebih tepatnya mereka berdua itu selalu rusuh dalam hal apapun. Jadi, tak pernah yang namanya berbicara dengan serius.

"San lo dengerin gue ngomong kan?" Evan yang tak di hiraukan itu menjadi kesal sendiri dengan Santi.

"Iya Van iya, gue gak budeg kali. Gue masih bisa denger suara cempreng lo itu."

Pembicaraan mereka berdua masih bertahan lama meskipun selalu dengan pertengkaran-pertengkaran kecil seperti itu. Santi tak pernah sekalipun cemburu karena Evan lebih peduli dan perhatian dengan Kiya dibanding dirinya. Justru ia menikmati saja pertengkaran-pertengkaran kecil seperti ini. Karena dengan begini, mereka jadi tak pernah untuk benar-benar bertengkar.

...

Ridho tengah gelisah sedari tadi. Sudah hampir seminggu rasanya ia tak melihat Kiya mengunjungi tokonya ini. Itu terhitung semenjak ia memberi novel Ananta padanya. Ia terus menduga-duga, apa iya Kiya sadar maksud novel itu? Atau Kiya memang tak mau mengunjuninya lagi setelah tau dia pemilik toko buku ini? Banyak sekali kini dugaan-dugaan yang ada di pikiran Ridho saat ini.

"Do!" Panggil Susan sepupunya itu mengagetkannya.

"Woi, nagpain lo kesini? Tumben banget?" Ridho tak membalas dengan sapaan lembut. Karena jika mereka sudah bertemu memang sudah seperti anjing dan kucing yang tak pernah berdamai.

"Lagi boring gue. Siapa tau aja saat gue di sini gue jadi gak boring lagi kan. Yah__ minimal gue jadi punya kerjaan yaitu gangguin lo pastinya." Susan mengabil alih segala yang Ridho sedang kerjakan, membuat pria itu mulai merasa terganggu sekarang.

"Lo ya, kapan sih lo gak nyusahin gue? Giliran lagi susah aja kan lo datang kesini. Please jangan ganggu kerjaan gue. Lagi pula juga, ini toko buku bukan tempat bermain. Bisa baca kan?" Ridho menunjuk salah satu tulisan yang ada di sudut. "Dilarang ribut. Yah kecuali kalo lo bego' aja sih. Jadi gak ngerti apa maksudnya."

Spontan Susan langsung memukul kepala Ridho. "Enak ya kalo ngomong kaya gitu. Tu mulut emang gak pernah di sekolahin apa ya?" Begitulah ucap Susan dengan kesal.

Ridho diam tak berminat menjawab lagi omongan pedas dari Susan itu. Karena jika ia terus menjawab, maka pertengkaran mereka memang tak akan ada ujungnya. Ia kembali pada aktifitas sebelumnya, yaitu menyusun buku-buku yang memang baru di terimanya.

Ridho memang pemilik toko, namun ia tak pernah bersikap seolah pemiliki toko. Bahkan ia tetap berpakaian seolah karyawan biasa dan melakukan pekerjaan juga seolah karyawan biasa. Maka tak heran juga jika Kiya tak tau tentang Ridho yang sebenarnya adalah pemilik toko buku yang sering di kunjunginya ini.

...

Sepanjang sore Kiya dan Zafran menghabiskan waktu bersama. Entah, lagi-lagi waktu memang membiarkan mereka untuk bersama lebih lama. Karena Kiya memang tak ada kelas lanjutan. Dosen yang seharusnya masuk tiba-tiba saja ada tugas penting yang sangat tak bisa di tinggalkan.

"Kamu tau ini tempat apa?" Tanya Zafran yang hanya di jawab gelengan oleh Kiya.

"Ini dulu adalah tempat favorit saya sama mama. Mama sering bawa saya kesini dalam keadaan apapun. Mama itu wanita hebat yang saya kenal. Mama juga wanita paling tulus yang saya kenal. Saya masih gak terima aja mama diperlakukan tak adil oleh orang yang menyebut dirinya sebagai papa itu."

Kiya menatap dalam lekat pada mata Zafran. Sulit di artikan bagaimana perasaan Zafran ketika sudah berada pada topik ini. Kiya juga bahkan tak benar-benar mengerti sebenarnya bagaiman awal permasalahan keluarga Zafran.

"Dulu mama itu adalah wanita paling pintar di sekolah bahkan di kampusnya. Baik, lembut, dan menurut saya, mama juga cantik. Hanya laki-laki gak tau diri itu yang gak bisa melihat segala yang di miliki mama. Dari awal dia menikahi mama itu hanya demi mendapat keturunan yang pintar untuk membangun bisnis yang coba di rintisnya. Orang itu obses sekali dengan harta. Sampai mama yang pada akhirnya jadi korban."

Kiya mengusap lembut bahu Zafran. "Sudah pak, jangan di bahas lagi. Itu akan membuat bapak semakin sedih. Rasanya itu sudah lama berlalu, meski tak harus di lupakan, kenapa tak coba jadikan itu kenangan yang indah saja? Coba liat dari sisi baiknya."

Harus terus Zafran akui, Kiya memang benar-benar bisa menenangkan. Caranya berbicara, bersikap. Meski sesungguhnya ia tak lain adalah gadis yang manja. Namun ketika tiba waktunya, ia benar-benar bisa menjadi seolah-olah berbeda.

18 Desember 2020
Update lagi nih
...
Jangan lupa jejak vote and coment nya

DOSEN IDOLA (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang