sudah tumbuh namun layu

728 55 1
                                    

"Kiy? Ngapain di sini?" Santi terkejut melihat sahabatnya itu ada di ruangan Ridho sepupunya. Setaunya, ruangan ini kan tak bisa di masuki sembarang orang.

"Loh kamu juga ngapain di sini? Aku sih bareng Ridho, dia ngajakin aku liat buku baru di sini."

Santi memicingkan mata curiga pada Ridho. Jangan bilang wanita yang selama ini Ridho ceritakan itu adaah Kiya? Oh astaga, kenapa dunia ini sempit sekali? Tak ada juga kah orang lain yang bisa memenuhi kepalanya ini. "Ternyata dunia ini memang sempit ya?" Santi berbicara lirih namun masih dapat di dengar oleh Kiya maupun Ridho.

"Maksudnya?" Tanya Kiya masih tak mengerti. Ia juga masih heran kenapa Santi juga bisa ada di sini. Santi tadi juga belum menjawab pertanyaannya. Selama ia kesini, rasanya ia juga tak pernah sekalipun bertemu Santi. Apa Santi juga teman Ridho sepertinya?

"Ridho sepupuku. Aku emang jarang kesini, gak nyangka aja gitu ketemu kamu di sini." Santi berkata seperti itu namun tatapannya tidak pada Kiya. Melainkan pada Ridho seolah dari matanya itu ia bertanya. Situasi macam apa ini?

Ngapain lo melototin gue gitu? Gak pernah liat cowok ganteng lo ya?" Ridho yang diberi tatapan berbeda dari Santi alias Susan yang dikenalnya itu hanya membalasnya dengan candaan saja.

Beginilah yang selalu terjadi. Kiya yang melihat itu hanya bisa mengambil kesempatan untuk pergi dari dua orang yang sedang adu mulut itu untuk melihat-lihat buku-buku baru yang sedari tadi di carinya.

Tak lama ketika Kiya sedang memilih-milih buku, handphone nya tiba-tiba berdering. Tertera jelas nama Pak Zafran disana. Dering hampir selesai, sebelum akhirnya Kiya memutuskan untuk mengangkat telfon itu.

"Assalamualaikum." Ucap Kiya mengawali ucapannya di telfon.

"Waalaikumsalam. Kiy, dimana? Kata Kafka kamu pergi ke toko buku, ini sekarang saya di toko buku tapi saya tidak melihat kamu. Saya sudah beberapa kali berkeliling, tapi tidak juga ada kamu di sini?"

Kiya kaget mendengar ucapan Zafran. "Bapak di toko buku? Ngapain? Mmm__ maksudnya ya kenapa? Kita kan juga gak ada janji." Polosnya Kiya berkata seperti itu karena ia memang kaget jika tiba-tiba di telfon seperti ini. Zafran memang selalu seperti ini, selalu tiba-tiba muncul di hadapannya untuk memberi kejutan-kejutan yang tak terduga.

"Ini weekend, saya mau mengajak kamu jalan, tapi ternyata saat saya datang ke rumah kamu, kamu sudah lebih dulu pergi. Jadi kamu ada di mana sekarang?" Zafran masih bertanya, namun seketika suaranya memelan ketika didengarnya ada suara laki-laki di sebrang telfon sana."Kiy, udah? Ini gimana, udah kamu pilih?"beginilah suara yang Zafran dengar itu.

"Kiya, kamu lagi dimana? Sama siapa? Tolong jangan buat usaha saya ini jadi sia-sia. Meski kamu belum sepenuhnya percaya dan yakin sama saya, bukan berarti kamu bisa seperti ini. Kamu tau kalau sekarang saya cemburu?" belum selesai Zafran berbicara, suara itu lebih dulu memotongnya.

"Jangan takut dan jangan cemas pak. Meski Kiya belum percaya dan yakin sepenuhnya sama bapak, Kiya tetap menunggu waktu itu. Entah waktu dimana Kiya akan benar-benar percaya, atau waktu dimana Kiya akhirnya harus mengakhiri semuanya.

Zafran berbalik, muncul di hadapnya orang yang selama ini diam-diam sudah memenuhi pikirannya. Zafran melangkah maju dan memeluk erat Kiya. "Jangan pernah katakan untuk mengakhiri semuanya sebelum saya berhasil membuat kamu percaya sama saya."

Tanpa disadari, seseorang sudah melihat dan mendengar percakapan mereka dari awal. Runtuh sudah satu lagi hati yang berharap. Bahkan sebelum diketahui, orang-orang itu harus lebih dulu mengubur harapannya.

Seharusnya memang dari awal tidak punya harapan jika mereka tau jika mereka tak lebih dari hanya sekedar saling kenal. Bukan orang penting di kehidupannya, meski dia penting dalam hidup kita.

Zafran melepas pelukan itu. "Kamu tau kamu penting bagi saya. Saya tak pandai berkata-kata, saya cuman mau kamu tau, bahwa saya tulus dan serius. Entah harus berapa kali lagi saya bicara seperti ini, hanya agar kamu tak pernah lupa dengan apa yang saya ucapkan."

Kiya tersenyum. Benar-benar hanya tersenyum tanpa berkata-kata. Sudah terbuka mungkin hatinya ini, namun ia masih benar-benar ingin meyakinkan, sekali saja lagi, untuk benar-benar tak akan kecewa jika ia sudah memutuskan.

Setelah dari toko buku, yang berujung Kiya tak jadi membeli novel yang dicarinya melainkan ia hanya dibelikan buku Zafran yang entah iapun tak tau itu buku apa. Karena Zafran juga menyuruhnya membuka ketika sudah di rumah saja.

Padahal Kiya tidak ulangtahun, tapi Zafran tetap bersikeras untuk membungkus buku itu seolah-olah sebagai hadiah ulangtahun.

"Bapak hobby ya munculnya itu selalu tiba-tiba gini? Gak bisa apa bikin janji atau minimal ngabarin dulu deh? Kiya tu kadang suka kaget aja kalo tiba-tiba bapak muncul dan ngajak pergi kaya waktu itu, atau kaya tadi tiba-tiba nelfon gitu." Di mobil, Kiya masih belum bisa mengganti topik pembahasannya seputar perilaku Zafran yang menurutnya semakin sesuka hati saja.

"Ini kebiasaan saya sama Fiya. Kita memang selalu ketemu dengan cara seperti ini setiap harinya. Hal ini juga yang bikin kita langgeng bertahun-tahun pacaran. Karena dengan begini, kita gak akan pernah punya kesempatan untuk main rahasia, karena gak akan mungkin sempat. Kecuali rahasia sakitnya Fiya yang memang tidak saya tau."

Menyadari perubahan pada wajah Kiya, Zafran melanjutkan ucapannya. "Jangan cemburu dulu atau mikir yang aneh-aneh. Maksud saya tak seperti apa yang kamu pikirkan sekarang. Hanya saya rasa, itu bukan cara yang buruk dalam sebuah hubungan."

Entah, rasanya keyakinan yang tadinya sudah mulai besar, sekarang kini memudar lagi. Apa mungkin ini yang namanya Kiya cemburu? Meski Fiya tidak ada lagi di dunia ini, tapi namanya selalu tak pernah lekat dari Zafran.

Mana mugkin selamanya harus seperti ini? Jika yang Zafran ingat hanya bagaimana kenanganya bersama Fiya. Tidak kah lebih baik ada hal dan kenagan-kenangan baru yang bisa mereka ciptakan untuk momen mereka sendiri?

...

"Jangan berusaha bohong lagi deh sama gue. Cewek itu Kiya kan? Kiya kan yang selama ini lo ceritain sama gue? Udah deh Do, lo itu bukan orang pertama yang berujung kaya gini. Evan juga nasibnya sama kaya lo. Gue cuman heran aja sama kalian, kenapa sih kalo udah tau suka itu gak langsung tembak aja? Kan gak bakalan gini jadinya. Cowok itu gak kaya cewek kali yang identiknya cuman bisa nunggu. Lagian apa untungnya coba kode-kodean gitu, sama Kiya pula yang tingkat kepekaanya itu minim banget."

Susan masih terus ngoceh meski sedari tadi tak pernah Ridho hiraukan. Yang ada di otak Ridho hanyalah bagaimana Kiya dan Zafran tadi. Bagaimana Kiya bisa se-humble itu dengan orang lain seolah-olah ia memberi harapan. Padahal ia sudah memberi peluang untuk satu orang saja.

Apa ia tidak sadar jika sikapnya selama ini menyakiti banyak orang. Bukan karena ramahnya itu, tapi karena banyak yang mungin akan salah mengartikan.

...
20 Desember 2020
Update lagi nih.
...
Jangan lupa jejak vote and coment nya

DOSEN IDOLA (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang