Kiya masih kesal prihal ia tadi yang dikenalkan sebagai istri oleh dosennya itu. Bagaimana bisa juga pak Zafran berbicara seperti itu. Lagian juga, apa salahnya jika berbicara jujur bahwa ia adalah masasiswi nya. Toh, tak ada yang salah dengan hal itu kan?
"Kamu ngomongin saya kan dalam hati? Kenapa?" Zafran sungguh mengerti apa yang sedang ada dalam pikiran Kiya saat ini. Karena dari tadi, mulut wanita itu tak henti-hentinya komat-kamit seperti sedang menyumpahi seseorang.
"Kenapa juga bapak harus nanya kalo bapak sudah tau. Lagian kenapa juga bapak bilang saya sebagai istri bapak? Kenapa gak juju raja sih." Kiya berbicara apa adanya. Lagian ia tak merasa berdosa juga jika seperti ini, karena ini kan bukan lingkungan kampus atau jam kuliah, jadi mungkin tidak masalah jika berbicara pada dosennya yang satu ini.
Zafran berbicara tidak kalah ketusnya, namun dengan nada menggoda di sana. "Kalo kamu tidak terima saya bilang seperti itu kenapa juga kamu tidak protes? Tidak ada tulisan kan dilarang protes di sini?" Zafran hanya tersenyum sumringah tanda ia berhasil memenangkan perdebatannya itu dengan Kiya.
Kiya hanya dapat menghela nafas kasar di sana. Bagaimana mungkin dosennya ini berusaha mengibarkan bendera perang padanya. Tunggu saja, ini terakhir kalinya saya akan membantu anda. Begitulah ucap Kiya dalam hatinya. Melupakan sebuah fakta, jika yang akan perlu bantuan itu sebenarnya dirinya sendiri.
Mereka diam. Baik Zafran maupun Kiya, sedang saling pandang dengan tatapan yang sama-sama membunuh. Cukup lama sebelum aktifitas mereka itu dihentikan dengan seorang bapak-bapak yang mengantar pesanan mereka berdua.
"Ini nak pesanannya. Aduh ya, pasutri yang satu ini, pandang-pandanganya seperti itu sekali. Kalian pengantin baru ya? Kalo iya mah wajar saja. Coba kalau sudah lama seperti bapak ini, huh boro-boro saling pandang romantis seperti itu, gak sengaja terpandang saja, ibu itu sudah melengos." Bapak itu terus saja mengoceh sambil menyiapkan makanya dia atas meja.
Kiya yang mendengar itu mau saja langsung memotong dan menjelaskan yang sebenarnya. Namun entah kenapa kata-katanya itu hanya tercekat dalam tenggorokan. Sedangkan Zafran, bahkan mukanya sudah memerah sekarang menahan tawa yang tak terbendung.
"Udah ini makanya udah siap." Bapak itu mengakhiri pembicaraan setelah selesai dengan aktifitasnya menyusun makanannya. "Neng," Ucap bapak itu pada Kiya yang hanya dijawab anggukan bingung oleh gadis itu.
"Zafran ini orang baik, neng beruntung bisa dapetin dia. Bapak doakan pernikahan kalian langgeng, selalu bahagia seperti ini. Sering-sering ngunjungi bapak ya di sini?" Bapak itu berbicara dengan lembutnya. Sampai Kiya pun tak tau harus menjawab apa selain menghadiahkan senyuman untuk bapak itu.
Mendengar ucapan itu pun, tatapan Zafran berubah sendu. Andai yang ada di hadapannya saat ini adalah Fiya. Iya pasti akan senang mendengar ucapan seperti itu dari pak Umar yang sudah dianggap sebagai orangtuanya sendiri.
"Yasudah, bapak tinggal dulu. Selamat menikmati hidangannya." Lalu pak umar pergi meninggalkan Kiya dengan segala syok nya itu, juga meninggalkan Zafran yang seketika ingat dengan seseorang yang tak akan mungkin pernah di temui lagi.
"Pak, Pak." Kiya kesal karena sedari tadi panggilannya itu tak dihiraukan dengan Zafran. Atau mungkin, Zafran memang sama sekali tak mendengar panggilannya.
"Pak!" Panggil Kiya lagi namun sekarang diikuti dengan hentakan tangan Kiya yang cukup kuat ke meja. Sampai mengundang perhatian beberapa orang di sana melihat ke arah mereka.
"Iya Fiy?" Jawab Zafran spontan. Dengan jawaban itu langsung bisa membuat Kiya terdiam dan menatap Zafran penuh makna. Ternyata sedari tadi ia memang benar-benar ditinggalkan sendiri. Makan dengan sendiri, bahkan ia juga baru sadar, jika makanan Zafran sama sekali tak tersentuh. Zafran bear-benar hanyut dalam lamunanya.
"Eee maaf, maksud saya Kiya. Maaf__" Ketika benar-benar tersadar, ia baru ingat siapa yang sedang bersamanya saat ini. Dia Kiya, bukan Fiya. Hari ini juga, rasanya sudah bayak hal yang ia lakukan yang membuat gadis di hadapannya ini kesal.
...
Selama perjalanan pulang, Kiya hanya bisa diam. Ia tau ia salah sampai mau di ajak dosennya pergi. Memangnya ia siapa sampai datang ke acara keluarga seperti itu. Lagian, Zafran tak lain hanya sebatas dosennya.
Kiya terus membuang muka ke luar jendela, seperti pemandangan luar itu lebih bagus daripada harus memandang muka Zafran. Ia tau jika Zafran juga hanya melihat sosok Fiya pada dirinya. Tidak satu orang yang bilang kalau mereka mirip, tapi kenapa harus aku? Kiya merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya sekarang ia terjebak dalam masalah orang lain.
"Kiya maaf, saya tau kamu marah dan kesal sama saya. Saya minta maaf untuk itu." Zafran mulai berbicara setelah mobilnya berhenti tepat di depan rumah iya. Ia pun tak menanyakan hal itu, karena ia tau dimana rumah Kafka. Jadi sudah pasti mereka tinggal serumah kan?
"Bapak gak perlu minta maaf sama saya. Seharusnya juga saya yang tau diri. Bapak itu Dosen saya, jadi gak seharusnya juga seperti ini. Hubungan kita tak lain hanya sebatas Dosen dan Mahasiswa. Saya permisi pak, terimakasih atas traktiranya." Kiya langsung keluar dari mobil setelah mengatakan itu. Seketika ia langsung terkejut melihat abangnya sudah menatapnya tajam di ujung sana.
Kafka yang melihat mimik wajah adiknya berbeda itu seketika pikiranya sudah kemana-mana. Terlebih ia melihat siapa yang sekarang sudah mengantar adiknya pulang. "Kiy, masuk." Perintah Kafka tanpa boleh ada penolakan di setiapa menekanan kata-katanya itu.
Kiya pun tak berniat menanggapi perintah abangnya itu langsung masuk. Ia juga malas berlma-lama melihat dosennya itu. Benar kata abangnya, tak seharusnya ia dekat dengan Zafran. Cukup sebatas dosen dan mahasiswa saja.
Setelah memastikan Kiya masuk ke dalam rumah, Kafka berjalan mendekati Zafran. "Apa yang lo lakuin sama adik gue? Gue mohon sama lo karena kita temen. Gue mohon jangan ganggu adik gue, masih banyak orang lain di luar sana Zaf."
"Maksud lo apa sih Kaf? Gue gak ngerti deh?" Zafran memang benar-benar heran dengan apa yang dimaksud sahabatnya itu.
"Gue gak mau Kiya yang jadi korban pelampiasan perasaan lo itu. Gue tau lo paham apa yang gue maksud. Kiya adik satu-satunya yang gue punya, please jangan dia."
Zafran tertawa. Bingung kenapa sahabatnya itu bisa berkata seperti itu. "Makud lo apaan sih. Gue cuman minta tolong sama Kiya, gak lebih. Pikiran lo itu aneh banget sih. Lo pikir gue ini cowok seperti apa? Gue gak bakalan macem-macem kok sama adik lo. Lo tau sendiri gimana gue sama Fiya kan? Emang ernah gue nyakitin dia?"
"Justru itu Zaf, justru karena masa lalu lo itu. Kiya adik gue itu bukan Fiya pacar lo. Mereka orang yang berbeda. Jadi gue harap cukup sampai disini lo mikir kalo Kiya itu Fiya. Karena itu Zaf, karena itu. Kiya punya masalalu yang buruk, gue gak mau itu kejadian lagi sama dia." Kafka berbicara sendu. Bukan ia tak mempercayai temannya tapi untuk kondisi yang seperti ini, ia lebih baik mengantisipasi sebelum semuanya terlambat.
"Gue emang ngeliat kemiripan Kiya dengan Fiya. Cuman gue gak pernah nganggap adik lo itu Fiya, lo harus tau itu. Gue cuman mau berteman sama dia apa itu salah?"
"Maksud lo gak salah, gue cuman takut Kiya yang salah. Lagaian, lo gak pernah tau kapan sikap lo itu bakalan nyakitin Kiya. Udah ya Zaf, meningan sekarang lo balik, hari udah semakin gelap." Kafka menuntun Zafran masuk ke mobilnya. Tanpa memberi kesempatan untuk pria itu berbicara. Ia hanya ingin yang terbaik untuk adiknya, dan Zafran juga orang baik, ia tau itu. Hanya saja ia ragu jika Zafran sudah benar-benar melupakan masa lalunya.
...
Rabu, 25 November 2020
Jangan lupa tinggalkan vote and coment terbaik Kalian ya..
Happy reading
KAMU SEDANG MEMBACA
DOSEN IDOLA (END)✅
General Fiction*cerita masih lengkap* Nyatanya yang pergi tak akan kembali dan yang ada tak mesti sama. Ini tentang bertahan, sejauh mana hati dan seisinya bertahan pada situasi yang tak lagi sama. .. Fiy, aku janji tak ada yang lain. (Nalendra Zafran Akhtar) Dia...