syndrome putri tidur

851 53 1
                                    

Saat pesawat mendarat di AS Kafka sudah langsung menuju kediaman orangtuanya. Sebelumnya ia memang sudah ditunggu dengan orang suruhan papanya untuk menjemput. Kafka duduk dalam diam di mobil itu. Keinginanya saat ini hanya satu, segera sampai di rumah dan melihat bagaimana keadaan adik semata wayangnya itu.

"Sudah sampai tuan." Ucap sopir itu.

Tak menunggu intruksi kedua kalinya, Kafka langsung saja turun dan melangkah masuk. Langkahnya terhenti sejenak. Terbesit dalam hati dan dalam kondisi panik ini, rasa takjub ketika melihat istana yang ada di hadapanya ini.

"Mari tuan, saya antar ke dalam." Ucapan sopir tadi membuatnya tersadar dan melanjutkan langkahnya tadi yang sempat tertunda.

Kafka kaget bukan main melihat bagaimana keadaan adiknya sekarang. Terbaring dengan mata terpejam, juga ada selang infus yang terpasang di tangan kirinya. Kafka mendekat meraih tangan sang adik yang dirasanya sangat dingin itu. "Dek, kenapa bisa begini? Bangun dong, kamu hutang cerita sama abang?" Matanya kini berkaca-kaca melihat adiknya. Sungguh ia tak bisa melihat Kiya seperti ini.

Tanganya terus menggenggam tangan Kiya. Lalu pandanganya beralih menatap kedua orangtuanya. "Sebenarnya apa sih yang terjadi? Baru juga Kiya sampe ke sini. Kenapa udah jadi kaya gini?"

Bungkam. Gunawan maupun Maya tak tau harus bagaimana menjawab pertanyaan itu. Mereka berdua sama sekai tak megerti kenapa bisa kejadian seperti ini.

"Pa, ma, jawab! Kenapa bisa kaya gini? Apa yang sebenarnya terjadi? Kiya datang kesini memang dalam keadaan terguncang, dia butuh kalian. Cuman kenapa sih kalian gak pernah bisa ngerti sedikit aja? Cukup dengan semua pekerjaan itu. Kita gak butuh uang, gak butuh istana ini. Kita cuman butuh kalian ada sama kita. Bisa menasehati ketika kami ada masalah. Bukan tak tau apa-apa seperti ini."

Kafka kesal, bahkan sangat kesal. Ia menangis dalam setiap kata-katanya itu. Tangisan paling tulus adalah tangisan dari seorang laki-laki. Sekarang Kafka tengah melakukan itu. Hal yang mungkin selama ini sudah ia tahan-tahan untuk jangan sampai di keluarkan. Namun saat ini, ia sudah tak mampu menahan itu semua.

"Maaafkan papa Kaf, maafkan papa sama mama jika selama ini tak pernah bisa mengerti kalian. Maafkan atas segala waktu yang selalu kami habiskan untuk segala pekerjaan ini. Atas segala waktu yang tak pernah kami berikan untuk kalian."

Kafka tertunduk. "Kafka bukan marah, Kafka hanya kesal. Kami berdua punya orangtua." Kafka menggenggam tangan Kiya. "Hanya saja kami seperti tak punya. Kami hanya saling menguatan berdua, semuanya kami lakukan berdua. Begitu sulitkah meluangkan waktu sebentar saja untuk mendengar apa cerita kami? Dari dulu, dari kecil. Tak pernah ada cerita itu."

Maya sudah ikut menangis sekarang. Mendengar cerita putranya itu membuat hatinya sakit. Sebagai seorang ibu, ia memang tak pernah menjadi ibu yang baik. Tak pernah ada waktu untuk anak-anaknya.

"Kiya selalu merindukan hal ini. Kebersamaan ini, tapi sekarang kondisinya berbeda." Tatapan yang ditujukan untuk kedua orangtuanya itu beralih ke Kiya. "Kiy bangun, jangan lama-lama kayak gini. Jangan buat abang jadi semakin sedih. Kalau tau bakalan kaya gini jadinya, abang gak akan biarin kamu datang ke sini. Gak akan Kiy." Sekali lagi air matanya jatuh tepat mengenai tangan Kiya.

...

"Saya sudah beberapa kali menemui kasus yang seperti ini. Meskipun tidak sering, tapi pernah beberapa kali. Orang-orang itu memang kebanyakan dari Indonesia. Cuman saya belum bisa mengidentifikasi dengan pasti apa penyebab ini semua. Mereka ditemukan seperti orang pingsan dengan suhu tubuh dibawah rata-rata. Sangat dingin sekali. Jika di bilang koma entahlah, mereka lebih cocok dibilang tidur."

"Tidur?" Tanya Kafka pada dokter itu.

"Iya, mereka lebih terlihat seperti orang tidur. Namun dengan waktu yang lama. Biasanya saya menyebut ini sebagai syndrome putri tidur. Yang mana para penderitanya itu lebih memilih tidur, karena terlalu lelah menghadapi kenyataan yang sulit."

"Maksunya gimana ya, saya masih belum mengerti?" Kafka masih belum paham dengan apa yang dokter itu katakan.

"Sederhanya begini, mereka dengan pemderita syndrome ini sebenarnya bisa/mau bangun. Hanya saja, alam bawah sadarnya itu membuatnya lebih nyaman dengan tidur. Biasanya, situasi yang ia alami sebelum ia pingsan atau tidur ini adalah situasi yang sangat sulit."

"Lalu bagaimana cara membuat dia sadar seperti semula?"

"Entahlah, saya belum tau pasti bagaimana. Karena percaya atau tidak, tapi pasien saya yang terlama itu pernah sampai hampir 2 bulan. Yang paling sebentar itu 3 hari. Sejujurnya, riset saya juga belum selesai tentang hal ini. Sebenarnya, ini sudah lama juga tidak terjadi. Makanya saya juga sempat kaget, karena saya pikir syndrome ini sudah hilang, ternyata masih ada."

"Menurut orang-orang yang sudah mengalami ini. Apa yang mereka rasakan sampai akhirnya mereka bangun dan kembali normal?"

"Sebenarnya mereka itu harus selalu di ajak bicara. Paling mudah lagi ketika kita tau apa masalah yang membuatnya sangat tertekan seperti itu. Masalah yang sangat berat baginya. Hadirkan orang-orang itu, terus ajak bicara. Hanya hal ini sebenarnya yang bisa saya sampaikan, selebihnya hanya kekuatan doa yang bisa membantu dia bangun."

"Apa kemungkinan terburuk yang bisa terjadi?"

"Semakin lama kaki, tangan, semuanya tidak bergerak. Dia bisa mengalami kelumpuhan. Makin lama juga, nutrisi yang ia dapatkan tidak ada selain infus yang terpasang itu. Organ-organ lain juga bisa mati sedikit demi sedikit. Syndrome ini tidak berbahaya, hanya semakin di diamkan, muncul hal lain yang akhirnya membahayakan."

Kafka masih duduk di ujung tempat tidur adiknya. Terus memandangi sang adik, barangkali ia memberikan tanda-tanda untuk bangun. Ia tak bisa membayangkan jika adiknya ini terus seperti ini selama berbulan-bulan. Ia tidak tau apa inti permasalahan yang saat ini Kiya rasakan. Karena ia hanya bilang ingin menenangkan diri, tapi tak tau dari hal apa.

"Dek, apa sih yang ngebuat kamu kaya gini? Apa Zafran? Kalo emang dia, abang gak akan pernah maafin dia. Abang bisa aja mukulin dia sekarang juga, tapi abang ingat omongan kamu, kalo Zafran itu gak salah. Terus siapa Kiy? Siapa yang salah? Kamu harus bangun kalo gak mau abang menuduh orang yang salah tentang hal ini."

Kafka kembali meneteskan air mata. Entah sudah berapa kali ia melakukan itu. Kafka bukannya lemah, cengen, ia hanya tak bisa melihat adiknya itu seperti ini. Hatinya sangat sakit melihat ini semua. Andai ia bisa menggantikan posisi adiknya, mungkin lebih baik ia yang ada di posisi ini sekarang.

Mungkin memang harus ada Zafran di sini. Terlepas ia salah atau tidak, mungkin Zafran akan bisa menjadi teman diskusi Kafka. Barangkali Zafran juga tau apa yang sebenarnya terjadi.

...
3 Januari 2021
Wah udah ganti tahun ya ternyata
Update lagi kan
....
Jangan lupa jejak vote and coment nya ya

DOSEN IDOLA (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang