"Tapi kan pak, ini juga salah bapak?" Kiya mengerucutkan bibirnya. Kesal sekali kini ia dengan dosennya itu, bagaimana bisa dalam posisi ini malah ia yang disalahkan.
"Sekarang kamu sudah berani menyalahkan saya? Saya pikir kamu kalem. Ternyata kamu sama saja dengan teman-teman kamu yang lain itu?"
"Maksud bapak apa ya? Apa yang salah dengan teman-teman saya? Lagian udah sudah tidak sewajarnya lagi pak tugas dibawa-bawa begini. Tidak seharusnya juga saya disini, seharusnya dari awal saja saya tidak mengiyakan permintaan bapak kalo saya tau akhirnya jadi seperti ini." Kiya semakin kesal. Kenapa pak Zafran malah bersikap seperti itu, bisa-bisanya seolah ia lah yang paling benar dari semua permasalahan ini. Baru saja Kiya ingin beranjak pergi, suara Zafran kembali menghentikan langkahnya.
"Mau kemana kamu?"
"Bapak suruh saya kasih laporan kan? Ya saya mau ambil laporan lah pak. Laporannya ada di mobil, mana bisa tu laporan jalan sendiri kalo gak di ambil." Huh, semakin ketus sekali bahasa Kiya saat ini. Seumur-umur saat ia sudah menjadi mahasiswa seperti ini, baru inilah dosen yang paling membuatnnya kesal. Sekiler-kilernya dosen itu, rasannya tak pernah sampai membuatnya begini.
Mendengar jawaban Kiya, Zafran hanya bisa terdiam. Ia pun bingung dengan dirinnya sendiri, kenapa ia bisa begini dengan mahasiswinnya sendiri. Seperti ada sesuatu yang yang mengganjal di hatinnya, melihat sikap Kiya seperti itu bukannya ia marah, tapi justru ia senang. Sikap it mengiatkannya pada Fiya, sungguh bukan hannya nama yang mirip, tapi sifatnnya sangat mirip. Setidaknnya dengan melihat itu, rasa rindunnya pada Kiya bisa sedikit berkurang.
Meninggalkan Zafran yang masih berkutat pada pikirannya sendiri itu, Kiya sudah turun menuju mobilnnya di bawah untuk mengambil laporan. Tak lupa juga sepanjang perjalanan tak henti-hentinya ia mengomel. Tak habis fikir dengan dosen yang di idolakan para mahasiswi di kampusnnya itu.
"Neng, udah mau pulang?"
Hampir saja Kiya tak mendengar apa yang ditanyakan bibi itu. Karena ia lebih fokus pada perjalanan dan dumelannya itu. "Eh bi, kenapa tadi?"
"Ini, nengnya udah mau pulang apa gimana?" bi Inah mengulangi pertanyaanya.
"Belum bi, ini Kiya mau ambil laporan di mobil. Pak Zafran minta laporan katannya. Makannya ini Kiya mau ambil dulu." Kiya menjawab pertannyaan bi Inah itu dengan malas. Bukan, bukan malas dengan bi Inahnya. Lebih tepatnnya iya kesal dengan Zafran sang dosennya itu.
"Laporan?" bi Inah kaget dengan apa yang dikatakan Kiya. Baru ini Zafran mempersilahkan seseorang berlama-lama di dalam kamarnya kecuali Fiya. Bahkan teman-temannya pun tak pernah masuk ke kamarnnya itu.
"Iya bi, emang kenapa? Ada yang salah dari apa yang Kiya bilang?" Kiya bertannya karena sepertinnya bi Inah kaget sekali dengan apa yang Kiya katakana.
"Enggak neng, bibi cuman... mmm gak neng, lajut aja dulu. Mungkin sudah di tunggun mas Zafran di sana." Terlihat bibi itu gugup sekali menjawab pertannyaan Kiya.
Tanpa berpikir panjang, Kiya hanya mengangguk. Lantas ia bergegas mengambil laporannya dan kembali ke kamar dimana disana telah ada Zafran yang menunggu.
'Ini pak, laporan kami minggu ini." Kiya menyerahkan laporan itu sembari bersiap untuk menjelaskan progres tugas mereka di minggu kedua ini.
"Sudah jangan kamu jelaskan, taroh saja di atas meja. Saya yakin itu sudah sesuai dengan yang saya mau. Berhubung laporan kamu minggu lalu juga sudah bagus. Saya minta maaf sama kamu kalo sikap saya hari ini membuat kamu tidak nyaman. Kamu mau kan maafkan saya?" Zafran berkata dari lubuk hatinnya yang paling dalam. Ia sadar apa yang ia lakukan hari ini terhadap Kiya sudah kelewatan, semua ini juga karena ia selalu terbayang-bayang dengan Fiya. Mungkin sudah saatnya ia memulai semuanya lagi dari awal. Sudah cukup seminggu ini ia hidup dengan ketidakjelasan seperti ini.
Kiya bingung, ia bingung harus menjawab apa. Seakan permintaan dosennya itu begitu berat jika hannya sekedar untuk dijawab. "Iya pak, sudah saya maafkan." Lagi-lagi Kiya terlalu lembut untuk untuk semua ini. Dia terlalu baik, abhkan saat ia berkata sesuatu yang tak semestinya pun, rasannya ia sangat merasa bersalah.
Setelah itu mereka saling diam, tak ada yang berseuarah, hingga suara Kiya memecah kesunyian itu. "mmm pak, kalo gitu saya langsung pamit pulang. Ini udah terlalu larut, saya past di cariin." Benar saja, pikirannya kali ini bekerja. Bagaimana ia tak kepikiran, kalau teman-temannya pasti menunggu informasi dari dia. Terlebih handphone nya memang sejak tadi sudah mati apalagi abangnya itu, ia juga pasti khawatir.
...
"Dek, kamu darimana aja sih jam segini baru pulang? Jadwal kamu hari sabtu itu gak sesibuk ini kan? Lagian daritadi di hubungi gak bisa-bisa. Tadi pamitnnya kan cuman mau pergi sebentar, tapi kenapa malah selama ini?" Baru saja Kiya sampai rumah, ia sudah diberondongi dengan pertanyaan-pertanyaan abangnya itu. Ia sudah mengira jika hal ini pasti akan terjadi.
"Bisa gak sih nanyanya itu satu-satu? Tapi lagian juga aku lagi males banget buat jawab semua pertanyaan itu. Hari ini aku badmood banget, jadi kalo mau nanya mending besok aja ya. Aku mau langsung mandi dulu terus tidur, moga gak mimpi buruk." Kiya lantas melenggang pergi dari segala pertanyaan abangnya yang belum terjawab itu.
"Kiya, dasar ya ni anak. Kebiasaan banget orang lagi ngomong main tinggal-tinggal aja." Kafka kesal sekaligus kepo, kenapa adiknya itu. "Tadi dia pamit untuk ngasih laporan ke Zafran, oh astaga aku baru inget sesuatu. Ini semua pasti ulah Zafran, dengan kondisinya yang sperti ini pasti adiknnya itu telah menjadi korban kemarahannya."
Sesampainnya Kiya di kamar, ia terlebih dahulu men charger handponenya sebelum bergegas mandi. Disana, dibawah guyuran shower ia kembali teringat kejadian beberapa saat yang lalu. Rasannya ada yang aneh dengan dirinya. Lagian, kenapa ia jadi orang itu tidak tegaan sekali, kalau saja ia sedikit lebih berani lagi. Lagipula, ia heran. Kenapa semua orang mengatakan bahwa ia itu sangat mirip dengan Fiya pacannya pak Zafran itu? Meskipun ia memang belum pernah bertemu dengan orang itu, akalnnya berkata, tak mungkin ada orang mirip seidentik itu. Lagian sodara juga bukan. Lalu kenapa bisa seperti itu.
Di tempat yang berbeda, setelah kepulangan Kiya, Zafran tak bisa berhenti terbayang-bayang sosok mahasiswinnya itu. Cepet sembuh pak, maaf tadi Kiya kasar sama bapak. Sikap bapak aneh, gak kaya biasannya. Kiya ngerti gimana perasaan bapak, tapi bapak gak bisa begini terus. Ia mendengar itu. Ia mendengar apa yang Kiya ucapkan. Karena ia memang tak benar-benar tidur waktu itu. Segala pergerakan Kiya, ia sadar semuannya. Termasuk ketika wanita itu mengelus lembut rambut Zafran dan merasakan panas di sana.
"Fiy, kamu pasti tau apa yang sedang aku pikirkan sekarang. Dia Kiya, adiknya Kafka. Kamu tau? Dia mirip banget sama kamu, aku yakin siapapun yang mengenal kalian berdua pasti bakalan ngomong kaya gitu. Fiy, aku kangen banget sama kamu. Kenapa sih kamu gak pengen datengin aku? Hmmm, tapi gpp lah semoga kamu bahagia ya disana. Kamu selalu seneng, kan disana kamu gak ngerasain sakit lagi. Yang perlu kamu tau cuman satu, kalo sampai kapanpun, aku bakalan tetap sayang sama kamu." Inilah hal yang sering Zafran lakukan. Seakan Fiya mendengannya, ia selalu saja mengajak Fiya berbicaya. Beginikah? Apa ini yang dinamakan cinta yang sesunggunya? Mampukah Zafran jika harus terus hidup seperti ini?
...
@ Nurhidayah202
Follow Ig author.👆
KAMU SEDANG MEMBACA
DOSEN IDOLA (END)✅
General Fiction*cerita masih lengkap* Nyatanya yang pergi tak akan kembali dan yang ada tak mesti sama. Ini tentang bertahan, sejauh mana hati dan seisinya bertahan pada situasi yang tak lagi sama. .. Fiy, aku janji tak ada yang lain. (Nalendra Zafran Akhtar) Dia...