sebuah cerita

859 60 1
                                    

Namun baik Kiya maupun Zafran sangat terkejut, karena mereka berdua sama-sama tak mengenal orang itu. Mereka saling pandang, seolah sama-sama bertanya, siapa? Tapi keduanya sama-sama mengedikkan bahunya tanda memang benar-benar tak tau.

"Maaf tapi siapa ya? Apa kita saling kenal?" Tanya Kiya pada orang yang tadi memanggilnya itu kini sudah ada di hadapannya.

Wanita itu hanya tersenyum, lantas berkata."Hmm tidak, aku hanya ingin menyapa saja. Maaf mengganggu." Setelah mengucapkan itu, wanita itu lantas pergi, tak lupa membungkuk sedikit hormat pada Zafran yang ada di sebelah Kiya.

Kiya sedikit heran, tidak mungkin jika hanya ingin menyapa saja. Wanita itu seperti akan mengatakan sesuatu namun tertahan ketika melihat Zafran. Siapa dia? Kiya terlihat sedikit penasaran meski wanita itu sudah tak terlihat.

"Udah jangan di pikirkan, mungkin dia memang hanya ingin menyapa." Zafran menepuk singkat pundak Kiya lalu menuntunnya kembali menuju parkiran.

Beberapa saat Kiya melupakan rasa penasaranya itu. Pikiranya sekarang justru bertanya-tanya kemana mereka akan pergi sekarang? Karena sedari tadi Kiya bertanya pun ia tetap tak tau kemana Zafran akan membawanya pergi.

"Pak, bapak gak lagi mau nyulik saya kan? Dari tadi bapak belum bilang kita mau pergi kemana?" Entah ini pertanyaan yang ke berapa, karena sedari tadi tak kunjung ada jawaban yang pasti akan kemana tujuan mereka sebenarnya.

"Kiya, kamu belum bisa ya ubah panggilan kamu itu ke saya kalau di luar lingkungan kampus? Saya bukan bapak kamu jadi coba ubah dengan panggilan lain yang lebih enak saya dengar." Zafran sedikit melirik ke Kiya disela-sela aktifitasnya menyetir mobil.

Kiya terdiam, ia baru sadar itu. Ini udah kesekian kalinya juga Zafran mengingatkan untuk jangan memanggilnya pak jika mereka sedang berdua seperti ini. Namun rasanya memang masih canggung saja, semua itu butuh waktu.

"Kiya... Kiya belum bisa, rasanya masih canggung." Kiya jujur dengan apa yang dikatakannya. Ia memang masih canggung, karena ia sendiri pun sebenarnya masih belum percaya jika ini semua akan terjadi padanya. Sebuah pilihan yang ia sendiri pun belum sepenuhnya yakin apakah ini keputusan yang terbaik.

Zafran justru tersenyum mendengar jawaban Kiya itu. "Its okay Kiya, jika panggilan itu yang membuat kamu nyaman saya tidak memaksa." Zafran menarik tangan Kiya lalu di kecupnya singkat.

Sedangkan Kiya sudah tidak tau bagaimana keadaan pipinya sekarang. Ia pasrah saja jika Zafran kembali akan menertawainya karena pipinya sekarang mungkin saja sudah memerah.

"Sekarang kita mau ketemu Fiya. Kamu masih ingat kan waktu kamu nemenin saya ke acara ulangtahunnya waktu itu? Dia mau ketemu saya, dan dia minta saya ajak kamu. Makanya saya ajak kamu, kebetulan kamu juga gak ada kelas tadi."

Kiya hanya mengangguk mengerti. Satu pertanyaan lagi muncul di benaknya saat ini. Kenapa Fiya? Kenapa namanya harus Fiya? Bukan cemburu, hanya saja ia sedikit terganggu dengan nama itu. Ia masih ingat bagaimana kisah Zafran dengan Fiya dulunya.

"Kiy..." Zafran mengelus lembut tangan Kiya. "Kenapa diam?" Tanyanya lagi.

Kiya hanya diam. Apa iya harus mengatakan jika ia cemburu dengan Fiya? Toh itu hanya namanya saja yang kebetulan sama. Namun tampaknya Zafran mengerti, apa yang di risaukan Kiya kali ini. Zafran cukup pandai dalam membaca ekspresi wajah seseorang.

"Namanya memang sama dengan Fiya pacar saya dulu. Fiya yang ini anaknya mbak Helen kakak kandung saya. Nama sebenarnya itu Faniya Anaya, cuman saya juga tidak tau kenapa nama panggilanya itu Fiya." Zafran memandang lagi wajah Kiya yang mulai tersenyum. "Tanyakan apa saja yang membuat kamu gelisah, saya tidak mau ada rahasia di antara kita.

DOSEN IDOLA (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang