36. Penyesalan

5.3K 156 10
                                    

Malam sudah begitu larut saat sebuah mobil mewah melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan ibukota yang cukup lengang. Klakson terdengar panjang. Demi menyingkirkan penghalang di depan.

Tak jarang terdengar makian nama binatang. Sungguh tidak sabaran. Beberapa kali pengemudi hampir menyenggol mobil lainnya. Namun ia tidak mengurangi kecepatan. Malah semakin kencang.

Entah, sang pengemudi sedang membayangkan mobilnya bisa terbang seperti sepeda Shiva, tokoh kartun berasal dari India. Atau sedang mengadu adrenalin demi melatih diri sebelum mendaftar di balapan mobil kelas dunia.

Klakson berbunyi tiada henti juga terdengar dari pengguna jalan lain. Mereka terkejut karena dilalui oleh mobil tanpa suara. Maklum mobil baru. Suaranya masih halus seperti perawan desa yang malu-malu.

Tampaknya si pengemudi tak peduli sama sekali. Ia memusatkan seluruh perhatian ke jalan. Baginya, urusannya lebih penting daripada mengurus perasaan pengendara lainnya.

"Brengsek!" makinya saat mobil truk di depan tak kunjung menyingkir setelah diberi lampu tembak dan klakson berkali-kali.

Begitu mendapat celah sempit, ia langsung menyalip. Body mobilnya bergesekan dengan trotoar, tapi ia tak peduli. Nanti bisa diurus di bengkel.

"Pelan-pelan, aku takut kita kecelakaan!" pekik wanita yang duduk di sebelahnya.

Dia sampai berpegangan kuat agar tak terpelanting ke sana sini ketika mobil itu berbelok. Sea belt saja tidak cukup. Akan tetapi, melepaskannya pun tak mungkin. Bisa-bisa dirinya remuk bagai rengginang.

"Pelanin mobilnya!"

"Diam!"

Saat sampai di depan rumah mewah di bilangan Pondok Indah, mobil itu berhenti dengan tidak mulus. Suara ban bergesekan dengan ubin di halaman rumah yang luas itu menimbulkan suara ngilu di telinga.

"Rahul, tungguin aku, dong!" seru wanita itu yang kesusahan turun karena dress ketat serta high heels yang dikenakan terlihat merepotkan.

"Cepat, Karin! Saya yakin Shalima ada di sini!" sergah Rahul tak sabar.

Melihat Karin tak jua berjalan cepat, Rahul mendengkus lalu berlari secepat kilat masuk ke dalam rumah tanpa memberi salam. Tak ada masa menunggu bagi perempuan merepotkan yang lebih memerhatikan penampilan.

Rahul membuka semua pintu kamar yang ada di lantai dua. Riuh, gaduh, seperti sedang ada penyergapan bandar sabu-sabu. Tak hanya pintu kamar, toilet sampai ke lemari pun ia cek satu persatu.

Mengingat Shalima sangat marah pada dirinya, bukan tidak mungkin wanita itu bersembunyi di tempat mustahil seperti lemari. Sayangnya ia tidak menemukan wujud sang istri di manapun.

Rahul mulai frustrasi. Dia tidak ingin kehilangan Shalima, wanita yang baru ia sadari telah menguasai relung hati. Membayangkan Shalima pergi jauh membuat Rahul kalut. Ia dihajar kemelut.

"Ma! Pa! Arya! Sara! Bi Narsih!" panggilnya sembari turun kembali ke lantai dasar.

"Rahul, aku capek," keluh Karin.

Telinga Rahul mendadak tuli. Tak dipedulikannya Karin yang kelelahan mengikuti langkahnya yang cepat. Suara perempuan itu dianggap angin lalu.

"Ma! Pa! Siapapun, tolong keluar!" ulang Rahul dengan suara lantang.

"Apa, sih? Kenapa? Hah? Ngapain kamu teriak-teriak tengah malam kayak orang gila?!" Ratu muncul dari ruang perpustakaan dengan wajah kesal.

Rahul berlari menghampiri Ratu. Matanya menyiratkan permohonan agar menjawab pertanyaan dengan jujur.

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang