Rima membuka jendela kamar di lantai dua yang langsung menghadap ke jalan depan rumah. Pemandangan indah menyambut mata. Alih-alih di Indonesia, Rima lebih suka di Belanda.
Ada sebuah pepatah, meskipun hujan emas di negeri sendiri, lebih baik hujan batu di negeri orang. Konon katanya negeri orang indah ditinggali untuk sementara, bukan selamanya.
Namun, Rima ingin membantah. Pepatah itu lebih cocok digunakan oleh orang-orang yang hidup bahagia tanpa masalah. Khusus untuk dirinya, Shalima, dan mereka yang lelah tersakiti, tanah air menjadi sumber luka terbesar.
Suara lonceng sepeda yang dibunyikan para tetangga menyapa Rima. Mereka hendak pergi bekerja. Hilir mudik, sederhana, tapi indah. Seperti Indonesia tahun delapan puluhan.
"Goedermorgen, Mrs. Shakila!" sapa anak-anak sekolahan dengan ceria.
"Hi, Guys!" sapa Rima lebih semangat lagi. "Be careful!"
"Okay!"
Mata Rima mengikuti sepeda anak-anak itu hingga semakin jauh. Deka sudah berangkat dijemput Alex. Pria itu menyanggupi dirinya menjadi sopir pribadi.
Akan lebih bagus jika Deka naik sepeda. Kesehatannya terjamin. Alex pun bisa menghemat uang bensin. Walaupun tidak pernah mengeluh, pasti Alex selalu terlambat pergi bekerja.
Deka harus mulai berteman meskipun terbatas di bahasa. Anak-anak di sini lebih suka menggunakan bahasa daerah, sedangkan Deka hanya paham bahasa Inggris.
"Nanti juga bisa diatasi," kata Rima sembari memejamkan mata.
Groningen sedang memasuki musim semi. Bunga-bunga tulip serta bunga matahari tampak terlihat mekar sempurna di halaman rumah penduduk desa. Tumbuh-tumbuhan seolah sedang bertasbih menyebut nama Allah di setiap gerak dipermainkan angin.
"Goedermorgen, Mrs. Rima. Did you sleep well last night?"² Seorang wanita yang sedang mendorong sepeda menyapa Rima dengan suara sedikit keras.
"Goedermorgen, of course. I slept so well that I didn't even dream!"³ balas Rima dengan senyuman manisnya.
"Apa kau terburu-buru? Aku akan turun menyapamu."
Wanita itu menggerakkan bahunya, lalu memberi kode dengan lirikan mata.
"Tunggu sebentar!" Rima segera pergi dari jendela dan berlari menuruni anak tangga.
Dewi tersenyum maklum. Dia sempat mendengar perbincangan Rima dengan seorang wanita. Pasti majikannya hendak keluar menyapa.
Kata siapa usia tiga puluhan tidak boleh bergerak bebas? Rima selalu lincah di berbagai kesempatan. Jiwa mudanya benar-benar awet.
Beberapa saat kemudian, Rima kembali ke dalam. Ia menyambar sebotol minuman kaleng dan berkata, "Ambil satu, ya?"
Ia tersenyum senang saat melihat wanita tadi benar-benar menunggunya. "Mau kerja?" tanyanya.
"Benar."
Melihat dari tampilannya, wanita ini sepertinya bekerja di peternakan sapi. Memerah susu atau sebagainya.
"Kau pasti belum tahu namaku. Setiap hari menyapa, belum pernah kudengar kau memanggilku dengan nama."
Senyum malu menghiasi wajah Rima. Tebakannya benar, Rima tidak tahu nama wanita itu. Memiliki mulut ceplas-ceplos bukan berarti ia berani menanyakan privasi, sekalipun itu nama.
"Namaku Rosalie. Rumah kita hanya dipisahkan oleh tiga rumah saja."
"Nanti aku akan berkunjung ke sana."
"Bagaimana keadaan saudarimu?"
Helaan napas panjang melunturkan senyum Rosalie. Pasti berat sekali bagi Rima. Dia harus bekerja, mengurus anak, sembari memikirkan Shalima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandiwara Shalima [Tamat]
General FictionTujuh tahun berada di bawah atap yang sama, tak membuat rumah tangga Shalima dan Rahul hidup bernapaskan cinta. Dingin, beku, dan tak saling mengucapkan kata-kata penuh kasih adalah warna yang menghiasi rumah tangga mereka. Tak ada yang Shalima hara...