44. Tanpa Rasa Bersalah

2.6K 120 5
                                    

Seorang wanita mengayuh sepeda menyusuri jalanan sembari menebar senyum manis. Celana kulot yang dikenakan memudahkan kaki mengayuh besi beroda dua itu dengan begitu lincah.

Sesekali sebelah tangan digunakan untuk merapikan kembali jilbab di bagian dada yang tersingkap dipermainkan angin. Suasana hatinya sedang bagus.

Beberapa pesepeda menyapa dirinya dibalas dengan senyuman semanis mungkin. Anak-anak sekolah, pekerja, peternak, tua muda sama saja. Mereka ramah-ramah sekali.

Dua anak perempuan berseragam setingkat sekolah dasar mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi. Saat hampir mendekati Rima, keduanya melambai penuh semangat.

"Selamat pagi, Ibu Arsitek!"

"Selamat pagi kembali!" balas Rima, wajahnya agak khawatir. "Hati-hati, Anak-anak! Pelankan sepeda kalian."

"Tenang saja, kami sudah ahli!"

Jawaban itu membuat Rima menghela napas panjang, lalu melanjutkan perjalanan.

Langit Groningen tampak biru cerah. Segumpal awan putih Komulus menggelayut jauh di sana lalu perlahan terburai oleh angin.

Pemandangan di salah satu kota kecil di bawah pemerintahan negara Belanda ini tampak indah dipandang. Kearifan warga lokal, kesederhanaan, dan bijak adalah tiga kata pertama kala menginjakkan kaki di kota paling utara yang dekat dengan perbatasan Jerman ini.

Mahasiswa, dosen, orang kantoran bahkan beberapa pejabat pun memilih menggunakan sepeda. Apabila ada banyak barang yang akan dibawa, maka akan digantung tas mirip seperti kepunyaan pegawai pos di belakang.

Uniknya, untuk ibu-ibu yang membawa bayi akan menambahkan tempat duduk di stang dengan posisi menghadap belakang. Menggemaskan. Sayang Deka sudah besar. Dia hanya mau naik sepeda sendiri.

"Goedermorgen, Rima!" sapa seorang ibu-ibu yang sedang duduk di halaman rumah bersama bayi, mungkin berjemur.

(Selamat pagi, Rima!)

"Goedermorgen, Mevrouw. Je baby is zo schattig!" pekik Rima sembari berhenti mengayuh sepeda.

(Selamat pagi, Nyonya. Bayimu sangat menggemaskan!)

Ia membenarkan letak tas yang sedikit mengganggu. Matanya kemudian menatap bayi berpipi bulat merah jambu itu dengan mata berbinar.

"Danke je. Cepatlah menikah lalu mempunyai anak yang banyak. Aku mendukungmu, kalau bisa carilah lelaki lajang di sekitar sini!" seloroh Nyonya William.

(Terima kasih.)

"Aku sudah mempunyai seorang anak laki-laki yang tampan, Nyonya William. Apa kau melupakan hal itu?"

"Kau butuh suami, Sayang. Usiamu masih muda dan lihatlah wajah cantikmu itu. Ada banyak pria yang menyukaimu!"

"Kau berlebihan, Nyonya William."

"Hei, aku berbicara fakta."

"Fakta yang dibuat-buat."

Mereka tertawa bersama. Pagi hari adalah waktu yang bagus untuk bercanda.

"Bagaimana kabar Shalima? Apa kandungannya baik-baik saja?" tanya wanita itu.

"Tentu, ada Anne yang mengurusnya di rumah," jawab Rima.

Alex membawa seorang wanita beberapa bulan lalu. Katanya, dia lembut dan penyayang, juga bisa dipercaya. Rima menerima saja. Pilihan Alex tidak pernah salah. Dia sangat perfeksionis soal pekerja.

"Lantas kau hendak ke mana sepagi ini? Kupikir pekerjaanmu sudah selesai."

"Aku harus ke proyek. Ada kerjaan baru menanti."

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang