2. Mama Sakit

4.4K 171 6
                                    

Shalima buru-buru menghampiri motornya lalu mengenakan helm dengan cepat. Selepas pengajian tadi, ia mendapat kabar dari Sara bahwa ibu mertuanya sakit. Rahul tak bisa dihubungi. Padahal sudah jam sebelas siang, pria itu biasanya sedang istirahat sekarang.

Setelah hampir satu jam membelah kepadatan lalu lintas Jakarta, akhirnya Shalima sampai di sebuah rumah megah di bilangan Pondok Indah. Deretan rumah-rumah megah menemani perjalanan Shalima hingga akhirnya bisa memarkirkan sepeda motornya di halaman rumah mertua dengan selamat.

"Mbak!" panggil Sara cemas.

Rupanya Sara menunggu dirinya di teras. Gadis berusia dua puluh tahun itu menyambut Shalima dengan senyuman untuk menutupi rasa gelisah. Namun, Shalima adalah wanita yang sangat peka. Ia bisa merasakannya seresah apa hati iparnya.

"Assalamualaikum, gimana keadaan mama?" tanya Shalima cepat. 

"Mama di kamar, Mbak. Masih diperiksa dokter. Tadi mama nyari Mbak makanya aku telepon terus."

"Mbak ada pengajian."

"Aku lupa," kata Sara dengan wajah memelas. 

Shalima melambaikan tangan ke kiri dan kanan tanda tak masalah. Ia meminta Sara menemaninya menuju kamar sang ibu mertua.

Di undakan tangga, mereka berpas-pasan dengan Faaz, dokter muda yang menjadi dokter pribadi keluarga. Pria itu berhenti sejenak dan menegur Shalima.

"Assalamualaikum, Shalima!" tegur Faaz. 

Wanita itu menjawab salam dan memalingkan wajah ke arah lain. Tak pantas rasanya memandang laki-laki lain kala hidupnya sudah mengabdi pada lelaki yang dipanggil suami. Meskipun Rahul tak menganggapnya sebagai istri, setidaknya Shalima sudah menjaga diri sebagaimana perintah Allah dalam kitab suci. 

"Sehat?" tanya Faaz sekedar berbasa-basi. 

"Alhamdulillah, semua baik-baik aja. Maaf, saya harus liat Mama. Biar Sara antar Dokter ke depan," putus Shalima tiba-tiba. 

Shalima segera meninggalkan Faaz tanpa mengucapkan sepatah kata. Setelah mengetuk pintu kamar tiga kali, Shalima membuka dengan perlahan. Terdengar suara lemah menyahut dari dalam.

Dengan cepat Shalima melangkah dan meraih tangan ibu mertua. Raut paniknya terlihat amat kentara.

"Ma, Mama abis makan apa? Kolestrol Mama naik lagi, kan? Shalima, kan, udah pernah bilang nggak boleh makan sembarangan. Mama jaga kesehatan biar nggak sakit. Nanti kalau Bagas tau Mama sakit, dia pasti sedih. Mama makan mie kepiting lagi? Atau apa?" cerocos Shalima tanpa jeda.

Ratu tersenyum melihat menantu tersayangnya itu mulai cerewet. Jauh di lubuk hati yang paling dalam, Ratu bersyukur bisa memiliki menantu baik dan perhatian. Suaminya memang tidak pernah salah pilih.

"Mana ada Mama makan mie kepiting. Kepiting lagi mahal," canda Ratu.

"Ih, Mama! Udah sakit, nggak merasa bersalah karena langgar pantangan, malah becanda lagi," gerutu Shalima.

"Mama baik-baik aja. Jangan lebay, deh. Bentar lagi juga Mama sembuh gara-gara didatengin sama kamu, menantu Mama yang super cerewet," kata Ratu dengan suara pelan.

"Gimana nggak cerewet, orang tua Shalima tinggal kalian sekarang," ujar Shalima.

Air mata Shalima menetes perlahan menuruni pipi kurusnya. Ratu adalah wanita paruh baya yang amat baik hati. Menerima segala kekurangan Shalima dan menyayangi dirinya tanpa memikirkan perbedaan status yang menjadi jurang pemisah di antara mereka.

Namun, dengan segala kerendahan hati Ratu membangun jembatan agar jurang itu bisa dilewati dengan mudah. Melihat wanita itu terbaring lemah tak berdaya, hati Shalima sakit dan tak terima. Maunya Ratu dan Heri, papa mertuanya, sehat terus sampai maut memisahkan mereka.

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang