23. Saudara Tak Sedarah

2K 95 4
                                    

Siang hari, Jakarta seperti mendidih. Panas matahari membuat semua orang enggan keluar rumah meski hanya mengambil pesanan dari Kang Gober di pagar. Bau ketek, bau keringat, dan berbagai macam bau lain akan menghiasi pasar dan angkutan umum. Dijamin, kalian akan muntah apabila sedang mabuk perjalanan.

Untung saja zaman sekarang sudah ada pendingin ruangan. Bersyukurlah kepada Allah yang memberi ilmu pada manusia hingga tekhnologi makin canggih saja tiap harinya. Bagi rumah-rumah yang dekat persawahan, tinggal membuka jendela saja maka angin sejuk langsung masuk ke dalam rumah.

Shalima adalah salah satu orang beruntung karena tinggal di rumah mewah dengan fasilitas lengkap. Ketika cuaca sedang panas, maka Bi Narsih akan berkeliling ruangan menyalakan semua pendingin ruangan.

"Toh, yang bayar listrik Den Rahul. Bibi disuruh nyalain doang." Begitu kata Bi Narsih.

Akan tetapi, nasib kurang mujur menerpa gadis muallaf yang sedang berpanas ria dalam angkutan umum. Ia hampir muntah saat melihat keringat yang membasahi ketiak ibu-ibu berkaos. Belum lagi bau tak sedap yang diproduksi hampir merontokkan bulu hidungnya.

"Kalau mobil nggak ngambek, pasti sekarang udah sampai. Baru kali ini naik bus umum, jeranya nggak ketulungan. Udah panas, bau, sumpek. Untung nggak ada yang ngenalin aku di sini. Coba kalau kenal, pasti udah rame," gerutunya sambil memeluk tas.

Rima, perempuan yang kini sudah kembali muallaf terus menggerutu sepanjang perjalanan. Ketika sudah turun di depan sebuah gerbang kompleks, ia mengambil ponsel dan menelepon seseorang.

"Mbak, lagi di mana? Jemput aku di gerbang kompleks, dong. Nggak kuat jalan kaki ke sana. Pegel banget naik bus umum," rengeknya.

Begitu mendengar orang di seberang mengiyakan, Rima mematikan sambungan telepon dan mengipasi wajah dengan tangan.

"Entah aku yang kurang bersyukur atau emang naik bus umum senyebelin ini, pokoknya aku jera," gumam Rima. "Nggak lagi-lagi, deh. Sumpah!"

Mobilnya jarang diservis. Sekali rusak, banyak yang harus diganti. Bukan masalah berapa biayanya, tapi hari ini Rima kapok bepergian ke mana-mana. Kendaraan umum tidak seindah di novel-novel romansa.

Sekarang dirinya malah terlantar. Duduk di depan gerbang kompleks, memeluk tas, sesekali menyeka keringat di dahi. Seorang Rima Shakila yang terkenal seantero negeri harus mengalami hal ini. Itu menyedihkan sekali.

Mata Rima memicing saat melihat sosok anggun tengah mengendarai motor matic. Gamis kuning lembutnya berkibar indah. Rima langsung bersemangat. Penatnya hilang seketika.

"Mbak! Aku di sini!" seru Rima sembari melambai-lambai heboh.

Motor itu melaju ke arahnya, lalu berhenti tepat di depan Rima. Shalima membuka helm dan menatap tak percaya.

"Kamu ngapain, sih, siang-siang kelayapan? Udah tahu panas malah ke sini. Saya lagi enak-enak tidur terpaksa bangun buat jemput kamu," gurau Shalima.

"Bosan di rumah, Deka di rumah mami. Daripada bengong kayak sapi ompong mending ke rumah kamu. Bisa main sama Bagas."

"Ya, kan, bisa nunggu sore. Nggak mesti tengah hari buta begini."

Rima mengangkat dua jari. "Damai aja damai. Lagian kalau ada rumah Mbak tempat buang bosan, ngapain aku di rumah sendiri? Kenapa kita nggak ketemu dari dulu, sih, Mbak? Kayak Jakarta luas aja."

"Kamu, kan, sibuk."

Tanpa mengatakan apapun, Rima melompat ke atas jok motor. Hampir saja motor itu tumbang. Tubuh Shalima yang tidak besar mati-matian menjaga keseimbangan.

"Naik yang bener, Rima. Kalau jatuh gimana?" omel Shalima tak tahan.

"Iya, maaf. Jalan, Mbak. Aku udah kepanasan dari tadi!" keluh Rima sembari memperbaiki duduknya.

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang