7. Sandiwara Shalima

2.5K 109 2
                                    

Senyum bahagia terkembang di bibir manis Shalima. Ratu telah tiba bersama Sara. Betapa senangnya hati Shalima karena terlalu lama sendirian. Ia bosan. Hatinya juga merasa bahagia melihat sang suami ikut hadir menjenguk dirinya.

"Assalamualaikum," sapa Ratu ceria.

"Waalaikumsalam, Mama!" balas Shalima semangat lalu menahan nyeri akibat gerak berlebih.

Arya menyingkirkan keranjang buah yang menyisakan dua apel. Tangannya cekatan membersihkan bekas tumpahan minuman di meja nakas. Setelah itu, Ratu dan Sara meletakkan bawaan mereka di sana.

"Gimana keadaan kamu, Sayang? Bagian mana yang sakit?" tanya Ratu sembari mengelus kepala Shalima yang ditutupi jilbab hijau muda.

"Lebih mendingan dari hari kemarin, Ma," jawab Shalima jujur.

Meski masih nyeri, tapi tidak sesakit kemarin. Terlebih Faaz rutin menyuntikkan obat. Seperti, ia akan pulih lebih cepat.

"Mbak Shalima!" Sara memeluk Shalima pelan." Maaf, kemarin aku ketiduran. Terus dibikin pusing sama dosbing aku. Disuruh bolak balik terus disuruh nunggu, eh, taunya nggak jadi bimbingan. Jadinya nggak bisa ke sini. Mbak Shalima baik-baik aja, kan?" cerocos Sara.

"Kamu datang hari ini aja, udah bisa nutupin absen yang kemarin-kemarin," canda Shalima.

"Ih, gemes, deh. Jadi makin sayang!" Sara gemas ingin mencubit pipi tirus kakak iparnya.

Wanita yang sedang terbaring sakit itu tersenyum manis. Senang diperhatikan oleh keluarga pihak suami. Padahal hanya sakit sedikit, tapi curahan perhatian yang didapat amat besar.

"Mau liat lukanya, dong," pinta Sara.

Mata Shalima membola. "Ada Arya," bisiknya.

Sara menutup mulut menahan tawa. Dia lupa pergi disopiri oleh abang keduanya.

"Lupa," balasnya dengan berbisik pula.

"Kamu lapar? Mama bawa makanan rumah. Biasanya orang sakit nggak suka makanan rumah sakit. Jadi, Mama masakin kamu bubur ayam spesial. Coba, deh. Mama juga sempat goreng bakwan sama kentang. Mau nggak?" tawar Ratu penuh semangat.

Shalima mengangguk pelan. Tak salah perkiraan Ratu. Makanan rumah sakit memang kurang menarik. Syukur sekali mertuanya peka. Apalagi sampai menggoreng bakwan dan kentang,  makanan kesukaan Shalima.

"Rahul, ngapain kamu di situ? Suapin, kek, istri kamu makan. Jangan main hape terus!" tegur Ratu.

Pria itu mengalihkan perhatian dari ponsel. Ia menaikkan sebelah alisnya kala mendengar suruhan dari sang mama. Raut wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang amat kentara.

Rahul menatap Shalima. Manja sekali, makan saja harus disuapi. Kalau tak bisa makan pakai tangan kanan, gunakan saja tangan kiri. Begitulah kira-kira kosakata yang diwakili lewat tatapan mata.

Shalima spontan membuang muka. Bohong kalau mengaku tak paham pada tatapan Rahul. Awalnya ia senang karena mengira Rahul akan menuruti kata Ratu. Rupanya tidak. Sampai kapanpun Rahul adalah Rahul, kembarannya batu.

"Bang, ayo!" ujar Sara tak sabar.

"Dia bisa makan sendiri," tolak Rahul.

"Kamu buta? Udah jelas tangan kanannya sakit. Baru selesai operasi. Shalima pasti susah makan pakai tangan kiri. Lagian nggak baik maksain diri kalau emang nggak bisa. Kondisinya bisa makin parah." Ratu mulai marah-marah.

"Apa, sih, Ma? Timbang makan doang ribut. Mama aja yang suapin, lah. Kan, itu menanti kesayangan Mama," kilah Rahul.

"Ini anak, emang nggak punya hati, ya?" ucap Ratu kadung emosi.

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang