25. Mencoba Berani

2K 91 0
                                    

Dua bulan setelah kedatangan Karin ke rumah, Shalima masih bersikap seperti biasa. Tidak bertanya, ataupun mengungkit tentang dia. Namun, entah angin apa yang berhembus malam ini, Shalima ingin membahas Karin.

Pada dasarnya lidah memang tak bertulang. Padahal sudah bagus hanya diam, Shalima malah mencoba menggali kesakitannya sendiri. Tak dapat dipungkiri, Shalima ingin tahu sedikit tentang calon madunya--entah dirinya akan siap atau tidak untuk menerima Karin dalam rumah tangga mereka.

Untunglah usai melaksanakan salat Isya, Bagas berlari ke kamar untuk mengerjakan tugasnya. Jadi, kesempatan itu digunakan Shalima untuk menanyakan apa yang teramat sangat ingin diketahui pada sang suami.

"Bang!" panggil Shalima.

Rahul yang tengah termenung menoleh. "Apa?"

"Shalima mau nanya sesuatu, boleh? Kalau nggak boleh, nggak papa juga."

"Tentang apa?"

"Tentang Karin."

Kepala Rahul menoleh dengan cepat. Ada keyakinan di bola mata Shalima. Sekian lama membiarkan saja dirinya semena-mena, sekarang Shalima ingin tahu apa?

"Ya udah," putus Rahul pada akhirnya.

Tangan Shalima mencari kesibukan. Jujur, dia gugup dan takut membahas ini. Namun, sudah kepalang tanggung, Shalima memberanikan diri.

"Maksud Abang apa bawa Karin ke rumah?" tanya Shalima.

Rahul menoleh lagi, lalu memutar tubuhnya menghadap Shalima. "Saya hanya ingin kalian kenalan."

"Karena udah kenalan, Abang berharap apa lagi dari Shalima?" Shalima semakin berani.

"Entah."

"Apa Abang mau minta Shalima merestui hubungan kalian buat nikah?"

"Entah, Shalima. Saya rasa, sekalipun saya nikah dengan Karin, kamu nggak bisa ngapa-ngapain," kata Rahul tanpa sadar.

"Iya, bener." Shalima menganggukkan kepalanya. "Abang pasti mikir gini. Abang kepala keluarga, dan hakikatnya suami boleh punya istri lebih dari satu. Mau nggak mau Shalima harus terima apapun keputusan Abang terlepas itu nyakitin Shalima atau nggak. Ya, kan?"

Rahul merasa dipojokkan. "Kenapa bahas soal itu? Kamu nggak punya kegiatan lain, kah?"

"Anggap aja diskusi dua arah," sahut Shalima.

Mukena yang telah dilipat, Shalima letakkan di dekat kakinya. Kata siapa dia tidak ketar-ketir. Membahas ini saja Shalima mengumpulkan niat dan tekad selama berminggu-minggu. Jadi dia tidak akan ragu lagi, sekalipun Rahul akan marah besar nanti.

"Shalima minta Abang mau jawab pertanyaan Shalima malam ini. Semuanya, tanpa terkecuali!" tegas Shalima.

Pria itu mendadak gelisah. Semakin ke sini, tingkah Shalima mengalami banyak perubahan. Tidak ada lagi wanita penurut yang hanya diam dan tersenyum saat merasa sakit hati. Ternyata luka bisa mengubah kepribadian seseorang seperti ini.

"Selama ini, Abang nggak pernah peduli sama Shalima. Abang ke mana Shalima nggak tau, pulang atau nggak juga nggak ada kabar. Pernah nggak, Shalima marah atau neror Abang dengan nelepon berkali-kali?"

"Nggak."

"Terus, pernah nggak Shalima membangkang atau bantah setiap perkataan Abang?"

"Nggak."

"Pernah nggak, Shalima protes karena nggak pernah dibawa ke mana-mana, termasuk ulang tahun perusahaan keluarga Abang?"

"Nggak."

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang