39. Tabur Tuai

3.9K 153 12
                                    

Suasana rumah itu amat sunyi setelah sang ratu meninggalkan singgasana. Nyawa rumah telah pergi. Tersisa sunyi menunggangi udara. Tak ada lagi bayang wanita mungil bergamis lebar yang hilir mudik memijak seluruh ruangannya.

Azan Subuh berkumandang dari masjid kompleks. Menggetarkan saraf-saraf terkecil di dalam tubuh pria yang sedang berdiri di pagar pembatas balkon.

Biasanya ada calon bidadari surga yang berdiri di sini. Sendirian, menikmati langit Subuh bertabur bintang. Mengabaikan udara dingin dan membiarkan hijab panjangnya berkibar dipermainkan angin.

Lalu dirinya akan datang memarahinya. Walaupun tahu akan mengganggu dan menggores perasaan. Padahal itu bukan sebuah kesalahan, tapi senang saja mengatakan hal-hal menyakitkan.

Bidadari surga itu akan tersenyum manis. Mengiyakan setiap perkataan, lalu pergi memendam luka. Entah memandikan anak mereka atau sekedar memasak di dapur untuk dimakan suami dan anaknya.

Bidadari itu, telah menemani dirinya sejak tujuh tahun yang lalu. Jatuh bangun di jalanan berbatu demi meraih rida Allah dan suami.

Memendam sendiri seribu rasa sakit akibat perlakuan buruk dirinya tanpa protes atau menyuarakan rasa sakit yang diderita.

Menyiapkan sarapan dan kopi serta seluruh keperluan setiap hari dibumbui senyum manis meski sesekali kedapatan tersenyum miris kala dirinya tak mengucapkan sekedar kata terima kasih.

"Kembalilah, Sayang."

Pria itu lirih berbisik dihapus angin. Matanya menatap ke langit, menyiratkan sebuah ingin.

"Saya merindukan semua tentang kamu. Rumah ini kehilangan ratunya. Semua hampa tanpa kehadiran kaki mungil kamu yang selalu menapaki setiap sudut rumah karena bosan sendirian. Kamu di mana sekarang? Sekalipun lelah, harusnya kamu ngomong. Bukan malah pergi meninggalkan saya," lirih Rahul pelan.

Angin dingin berhembus pelan menerpa tubuh Rahul yang hanya mengenakan kaos putih polos. Entah kenapa dirinya menggigil. Padahal Shalima selalu melakukannya setiap pagi, tapi biasa saja.

"Kamu sekuat itu, ya?" tanyanya pada hening.

Pria itu memejamkan mata mencoba meresapi hawa sejuk kesukaan Shalima. Seolah ada wanita itu di sampingnya, menatap penuh cinta meski tak dipedulikan seperti biasa. Mengucap kalimat merdu sekedar menawari teh atau kopi.

"Saya ingin hati kamu, Shalima. Bukan teh ataupun kopi seperti yang kamu tawarkan setiap pagi. Saya ingin melewati detik bersama kamu seperti biasa dengan nuansa yang berbeda. Saya ingin melihat wajah kamu sebelum dan sesudah memejamkan mata dengan tatapan yang berbeda. Saya ingin kamu kembali mengucapkan bahwa kamu mencintai saya, rasa yang sama seperti yang kini sedang saya rasakan."

Pria itu mengabaikan salat Subuhnya, berdiri berjam-jam hingga ketukan pintu menyentak jiwa yang sedang berkelana menggali kembali memori ingatan senyum dan momen bersama Shalima.

Pergi ke pantai bersama, makan kentang goreng di dalam mobil, salat jamaah bersama, ketika wanita itu membangunkan dirinya untuk salat Tahajud. Semua terasa indah saat dibayangkan.

Sekarang hanya tinggal angan-angan. Sang tokoh utama telah pergi jauh dari genggaman hati dan jarak pandangan. Baru saja Rahul sadari, kenangan indah bersama Shalima bisa dihitung dengan jari. Sedikit sekali.

"Rahul, aku cari kamu di mana-mana ternyata ada di sini." Suara lembut mendayu menyapa gendang telinga Rahul.

"Ada apa?" tanya Rahul tanpa menoleh.

"Bagas nggak mau sekolah. Dia merajuk dari semalam. Aku bingung harus gimana lagi buat bujuk dia," kata Karin sembari memeluk tubuh Rahul dari belakang.

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang