8. Tak Usah Berharap

2.3K 113 0
                                    

Jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi, saat memandangi wajah suaminya yang terlelap dengan begitu nyaman. Pikiran Shalima seketika membayangkan, bagaimana rasanya mengobrol sebelum tidur seperti yang dilihatnya di YouTube. Pasti seru sekali.

Apalagi jika sambil merencanakan kehidupan mereka di masa depan, mengatur pendidikan Bagas dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, dan keinginan Shalima memberikan adik untuk Bagas. Satu anak rasanya tidak cukup. Rasanya kesepian sekali. Shalima merindukan tangis bayi di rumah ini.

Belum lagi manisnya bisa tidur dalam dekapan suami. Shalima ingin merasakan itu, sama halnya dengan istri orang lain. Sewaktu hujan petir, ada suami yang menenangkan. Lalu saat kedinginan, ada suami yang memberi dekapan. Bisakah Rahul berlaku layaknya suami idaman, selain hanya menjadi imam saat salat berjamaah?

"Kenapa liatin saya kayak gitu?" Tiba-tiba Rahul bersuara tanpa membuka matanya.

"Nggak, mau liatin aja wajah suami sendiri. Masa nggak boleh?" balas Shalima meski masih terkejut karena ketahuan.

"Kurang kerjaan?"

Bibir Shalima berdecak sebal. Rahul adalah suami yang menyebalkan.

"Bang, Shalima boleh nggak, nanyain sesuatu?"

Rahul bergumam sebagai jawaban. Terang saja Shalima semakin kesal. Sepertinya susah sekali menjawab dengan benar.

"Sampai sekarang, Abang masih nggak bisa terima Shalima, ya?"

"Tanpa saya jawab pun kamu tahu jawabannya."

"Terus ngapain Shalima masih di sini? Bukannya Shalima bisa aja Abang balikin ke Aceh? Nggak masalah kalau di sana, Shalima capek-capek ke sawah, daripada berpegang sama harapan kosong," tutur Shalima jujur.

"Saya masih memikirkan Bagas. Mau jadi apa masa depannya kalau liat orang tua dia nggak akur dan pisah?" Rahul membuka mata dan mengubah posisi menjadi duduk. "Kenapa tiba-tiba nanyain itu ke saya? Kamu udah nggak sanggup lagi sama kehidupan yang kamu dapatkan?"

Ditanya begitu, Shalima gusar. Bukan masalah sabar atau tidak. Sabar tidak ada batasan, tapi Shalima hanya ingin menjelaskan sesuatu yang memang sudah terang baginya.

Jika memang tak ada harapan, Shalima akan membuang mimpinya hidup bahagia bersama Rahul. Dia akan fokus hidup untuk beribadah kepada Tuhannya saja sembari mengasuh anak. Jabatannya sebagai istri akan dilakoni sebagai kewajiban. Tidak sampai menginginkan hal yang tak bisa ia dapatkan.

"Kenapa diam? Bukannya kamu yang minta bahas soal ini?" tantang Rahul lagi.

"Shalima bukannya capek sama keadaan, tapi Shalima mau tau biar bisa ambil satu keputusan. Apa Shalima akan terus mencintai Abang atau pasrah sama keadaan dan mematikan harapan yang selama ini Shalima pegang," jawab Shalima jujur.

"Terserah kamu. Seharusnya kamu nggak perlu minta saya memastikan lagi, dari awal semuanya udah jelas. Bukan saya yang menginginkan pernikahan ini. Kamu sendiri yang terjun ke dalam kesulitan, Shalima. Kamu mempersulit hidupmu sendiri."

"Terus kenapa Abang mau punya anak sama Shalima? Kenapa Abang mau jadi imam waktu salat?"

"Karena saya laki-laki sejati. Salah satu tujuan pernikahan itu untuk mempunyai keturunan. Perusahaan butuh penerus. Kenapa saya mau jadi imam? Terus siapa lagi? Kamu yang jadi imam dan saya jadi makmum?"

Setiap pertanyaan Shalima dibalas dengan sarkas. Wanita itu tersenyum pahit. Jawaban Rahul sangat logis. Susah untuk ditentang, apalagi oleh dirinya yang tidak pernah dianggap ada.

"Shalima paham sekarang," gumam Shalima.

"Bagus," jawab Rahul. "Saya mau tahajud. Kamu bangunkan Bagas."

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang