45. Orang-Orang Menyedihkan

4.7K 149 12
                                    

Faaz memeriksa e-mail masuk. Semua dari rumah sakit. Beberapa dari teman masa kuliah. Sekedar menanyakan kabar atau memberi jawaban atas pertanyaan Faaz terkait medis.

Dokter muda itu meremas rambut dengan frustasi. Tak ada satupun balasan dari Rima. Ia yakin pasti wanita itu tidak percaya pada hasil tes itu.

Akan tetapi, kalau tak mau percaya, tak apa. Setidaknya, Faaz sudah memberitahukan keadaan sebenarnya agar wanita itu bisa menangani Shalima dan membawanya berobat selagi masih di Belanda.

"Udah berbulan-bulan, si Cebol belum balas juga. Apa dia benar-benar nggak berniat membalas? Atau justru udah gerak ngobatin Shalima?" gumam Faaz sembari melonggarkan kerah kemeja putihnya.

Dokter muda itu menyandarkan tubuh ke kursi. Ia lelah sekali. Hatinya berharap tak ada lagi operasi cito menanti. Selain lelah fisik, Faaz menderita lelah batin.

Hari ini dirinya harus mengoperasi dua pasien kanker. Satu kanker hati, satu lagi kanker otak. Menghadapi penderita sakit ganas itu memang sudah menjadi makanan sehari-hari. Seharusnya sudah biasa.

Namun, sejak Shalima ikut mengidap penyakit mematikan itu, langkah Faaz menjadi goyah. Ia selalu mengusahakan kesembuhan orang lain, tapi ketika orang yang dicintainya mengidap penyakit yang sama, dia justru tak mampu melakukan apa-apa.

Sekedar menahan Rima agar tak membawa Shalima pergi saja dirinya tak bisa. Jatuh cinta pada wanita sesempurna Shalima nyatanya membuat dirinya menjadi pecundang.

Ketukan pintu membuatnya tersadar. Mata Faaz terpejam dan menghela napas dengan keras. Entah siapa yang datang. Padahal ia ingin beristirahat sejenak dan melupakan sisi dokter yang mengharuskan dirinya selalu siaga.

"Masuk!"

Seorang pria masuk dengan penampilan kusut. Rahul, orang paling cerdas dan menjadi lulusan terbaik universitas luar negeri jurusan ilmu bisnis, tapi gagal dalam mempertahankan keutuhan keluarganya.

"Kusut amat. Nggak disetrikain bajunya sama Karin?" tanya Faaz setengah mengejek.

"Nggak usah bahas Karin," kesal Rahul.

Mata Faaz mengikuti gerak Rahul. Saat melihat tubuh gagah sahabatnya menciut di pelukan sofa, jujur ada rasa tak tega. Namun, setiap perbuatan ada konsekuensinya.

Dia terlambat menyadari bahwa menyakiti Shalima, sama saja seperti menyakiti dirinya sendiri. Bahkan Bagas, yang tidak bersalah dalam kondisi ini.

"Tumben ke sini. Ada masalah kesehatan?" tanya Faaz akibat tak tahan diam.

"Pusing."

"Butuh obat?"

"Bukan itu."

"Terus apa?"

Lama-lama Faaz jengkel pada Rahul. Bukannya langsung berterus terang, malah betah memamerkan ekspresi menyedihkan.

"Saya udah berusaha cari informasi Shalima, tapi nggak ada sedikitpun jejak yang ditinggalkan sama dia. Rasanya, kepala saya mau pecah," keluh Rahul.

"Ya, bagus!" sahut Faaz cepat.

Melihat Rahul tak paham, Faaz melanjutkan ucapannya, "Kepala kamu emang harus pecah dulu baru bisa berpikir dengan jernih. Ke mana aja selama ini? Shalima di sini, kamu malah bersenang-senang dengan Karin. Pas dia nggak ada, malah dicariin," cibir Faaz tanpa ragu.

Rahul menghela napas lelah. "Bisa nggak, kalian berhenti memojokkan saya?"

"Nggak bisa, lah. Kamu salah, ya, salah."

Memang benar sahabat saling mendukung. Akan tetapi, Faaz mengedepankan logika. Dia selalu berusaha realistis.

Posisinya Rahul memang salah. Jadi, tiap pria itu mengeluhkan hidupnya yang berantakan, Faaz akan selalu menyerang. Dengan kata-kata atau ekspresi wajah yang meremehkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang