Di pagi yang masih gelap itu, Rahul mencari keberadaan Shalima di mana-mana. Kamar tidur, kamar tamu, kamar Bagas, dapur, halaman belakang, ruang tengah, ruang tamu sampai ke toilet pun tak dapat ia temukan wujud wanita itu.
Ada satu pertanyaan yang harus ia dapatkan jawaban darinya. Perihal luka-luka di tubuh Shalima, benarkah itu ada hubungannya dengan malam ketika dirinya mabuk?
"Bi, Bibi lihat Shalima?" tanyanya saat menyeduh kopi di dapur.
Rahul melakukannya sendiri sejak membawa Karin ke rumah. Shalima seolah menghukum dirinya dengan tidak menyiapkan kopi dan pakaian lagi.
"Kayaknya dari tadi saya nggak lihat Shalima."
Bi Narsih mengangkat bahu. Ia segera keluar membawa sekeranjang cucian yang belum kering. Hal itu tentu saja mengundang tanya dalam hati pria berusia tiga puluh lima tahun itu.
"Bi Narsih malah ikut-ikutan aneh," gumamnya.
Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, kakinya segera melangkah menuju kamar Bagas. Ia memilih menemui anaknya sebelum kembali mencari Shalima.
"Pagi, Jagoan Abi. Bangun dulu. Bentar lagi azan Subuh," kata Rahul sembari menggoncangkan tubuh Bagas pelan.
Bagas menggeliat sebentar. Setelah itu, ia kembali menarik selimut hingga menutupi wajah.
"Bangun dulu! Laki-laki harus disiplin. Nggak ada istilah malas-malasan!" kata Rahul tegas.
"Iya, Bi. Iya!" jawab Bagas dengan suara parau.
"Mandi dan siap-siap sendiri, ya? Abi cari Ummi sebentar."
Usai memastikan sang anak benar-benar masuk ke dalam kamar mandi, Rahul menghela nafas lalu turun ke lantai dasar. Saat itulah ia melihat Shalima sedang menaruh bunga-bunga segar ke dalam vas berukuran sedang yang ada di ruang tengah.
Kala melihat Rahul mendekat, ia melempar senyum manis seperti biasa. "Abang udah mandi? Mau Shalima siapin kopi? Maaf, Shalima tadi ke halaman depan buat ambil bunga-bunga ini. Bagus, kan, Bang?" kicau Shalima dengan nada gembira.
Kening Rahul mengerut dalam. Sekarang, suasana hati Shalima berubah-ubah. Terkadang suka marah, lalu tiba-tiba ceria. Saat sedang tertawa, wajahnya tiba-tiba bermuram durja.
"Udah bikin kopi sendiri," jawab Rahul datar.
"Oh, baguslah."
Shalima menata ulang letak bunga yang sudah rapi. Ada saja kesalahan yang dia temukan. Rahul dibiarkan terpaku sendiri.
"Ada yang mau saya tanyakan. Saya harap, kamu jawab dengan jujur!" seru Rahul.
Terdengar helaan napas begitu panjang. Sarat akan beban dan tak mampu menahan diri untuk tidak menunjukkan dirinya.
"Shalima udah tahu Abang mau nanya apa. Kalau ada hubungannya dengan kejadian Abang pas mabuk, Shalima udah pernah ngasih jawaban untuk itu. Jadi, kenapa harus nanya lagi?"
Shalima mengambil sebatang bunga mawar lalu menghirup baunya. Wangi sekali. Jemari lentik itu meletakkan kembali bunga mawar ke dalam vas. Senyum manis selalu terpatri di bibirnya. Hal yang tak pernah Rahul pahami, mengapa senyum itu tak pernah hilang.
"Shalima, dengarkan saya!" titahnya.
"Shalima dengar, Bang," sahut Shalima cuek.
"Jangan pernah jatuh cinta sama saya!"
Kata-kata Rahul membuat gerak tangan Shalima terhenti. Bibirnya berhenti menyunggingkan senyum secerah matahari. Binar mata Shalima meredup. Dia benci membahas ini. Lebih baik pergi daripada harus mendengar kata-kata menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandiwara Shalima [Tamat]
General FictionTujuh tahun berada di bawah atap yang sama, tak membuat rumah tangga Shalima dan Rahul hidup bernapaskan cinta. Dingin, beku, dan tak saling mengucapkan kata-kata penuh kasih adalah warna yang menghiasi rumah tangga mereka. Tak ada yang Shalima hara...