20. Diskusi

1.5K 71 7
                                    

"Mbak, aku bawa teman. Namanya Aleea. Dia tertarik buat mempelajari pasal Islam saat tahu aku mau masuk Islam lagi. Boleh, kan, dia ikut gabung sama kita?"

Sore itu, Shalima sedang menyusun obat-obat pereda rasa sakit yang dibeli di apotek saat rumah megahnya kedatangan tamu. Dengan buru-buru obat itu dijejalkan ke dalam laci nakas dan menguncinya.

Rima dan Aleea datang untuk mencari ilmu bersama Shalima. Meskipun Shalima merasa dirinya tidak layak mengajarkan orang lain, ia tetap berusaha berbagi. Setidaknya, dua orang ini kembali dengan sedikit ilmu yang Shalima miliki.

Ruang tengah kediaman Shalima dijadikan sebagai tempat diskusi. Shalima menyebutnya begitu, karena dirinya bukanlah guru besar atau seorang ustadzah. Mereka adalah tiga orang wanita yang sama-sama belajar tentang agama.

"Suami Mbak sama Bagas mana?" tanya Rima penasaran. "Kemaren aku juga nggak lihat suami Mbak."

"Bang Rahul lebih sering di kantor, Rima. Kesibukannya ngalahin presiden," gurau Shalima.

Padahal, Rahul sudah beberapa hari tidak pulang. Bagas saja lelah menanyai keberadaan ayahnya.

"Kalau Bagas?"

"Dijemput Sara. Katanya, dia kangen jalan-jalan sama keponakannya."

Rima mengangguk paham. Ia menyenggol lengan Aleea, memberi kode agar tidak diam saja.

"Kenalin, Mbak. Saya Aleea, temannya Rima. Makasih udah diizinkan datang ke rumah. Maaf, karena saya nggak bawa apa-apa," tutur Aleea.

Perempuan manis berkulit bersih dengan kedua alis yang nyaris menyatu itu menarik perhatian Shalima. Wajahnya oval, matanya besar dan indah, ditambah senyum manis mempesona. Laki-laki manapun pasti akan tertarik pada Aleea.

"Saya senang kalian datang," balas Shalima tulus.

Mereka berbasa-basi cukup lama untuk saling mengenal satu sama lain. Satu yang bisa Aleea simpulkan, Shalima mudah membuat seseorang merasa nyaman.

"Mbak, karena udah sore, aku mau langsung nanya aja," kata Aleea.

"Silakan."

"Menurut Mbak Shalima, cara menutup aurat yang benar itu gimana? Terus kenapa kita harus pakai kerudung? Pakai baju besar kayak Mbak Shalima?" Aleea menatap lekat sembari menyiapkan buku untuk mencatat poin-poin penting dari pemaparan Shalima.

Shalima tersenyum. Ia sering mendapat pertanyaan seperti ini dari wali murid di sekolah Bagas yang terbiasa dengan dunia ingar bingar Jakarta. Mereka merasa tidak harus menutup aurat dan menyembunyikan keindahan sebagai ciri seorang wanita.

Padahal beberapa orang senang ditatap penuh dengan kekaguman. Mereka juga senang mendengar pujian tentang keindahan tubuh yang dirawat mati-matian.

"Sebenernya, perintah berjilbab itu khusus. Allah sendiri yang mengkhususkan dalam surah Al-Ahzab ayat 59, dengan memerintahkan pada Rasulullah agar memberitahu para wanita untuk menutupi aurat mereka. Biar apa? Biar wanita muslim dan non-muslim bisa dibedakan dari cara berpakaian. Pakaian yang dianjurkan Islam haruslah longgar dan nggak ngikut bentuk lekuk tubuh. Berhijab, tapi tubuh terjiplak nggak ada untungnya, kan?" tutur Shalima.

Aleea langsung mencatat dengan serius. Sampai-sampai keningnya berkerut dalam.

"Muslim sama non-muslim, kan, bisa dibedain dari KTP, Mbak." Aleea mengeluarkan pendapatnya.

"Emang jaman dulu ada KTP? Terus, kalau sekarang ada KTP, kita nggak ngeluarin itu setiap saat, kan?" sahut Shalima cepat.

"Iya, sih."

"Nah, kalau udah pakai jilbab, pakaiannya udah bener, kainnya harus gede sampai nutup dada. Bukan dililit di kepala atau dilampirkan ke bahu sampai-sampai sesuatu yang seharusnya disembunyikan malah kelihatan. Saran saya, sepulang dari sini, bacalah buku tentang Sayyidatina Aisyah. Di sana, ada cara nutup aurat yang benar. Beliaulah yang lebih banyak ilmu dari para istri Nabi lain dan bisa ngasih jawaban dari tiap-tiap pertanyaan sesudah wafatnya Nabi," sambung Shalima lagi.

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang