3. Masih Berharap

3.1K 140 0
                                    

Senja mengambang di kaki langit. Bergaun mega dengan warna kuning keemasan. Berpadu dengan sedikit biru yang masih tersisa, memamerkan keindahan yang tak dapat ditiru tangan manusia. Indah sekali. Meski langit Jakarta dicampuri polusi, keindahannya tetap masih patut dikagumi.

Shalima duduk di balkon kamar sembari memutar untaian tasbih, merapalkan zikir sore yang selalu diamalkan olehnya. Sejak di pesantren, zikir pagi dan petang menjadi amalan tetap Shalima. Selain menambah tabungan pahala, faedahnya bisa menjadi tameng dari kejahatan makhluk fana.

Di kala senja merah seperti ini, Shalima rindu pada kampung halaman di Aceh. Pasti di sana masih terang benderang. Anak-anak bermain dengan riang setelah mandi dan dibedaki ibunya. Lalu, para wanita akan duduk di beranda rumah, menanti suami tercinta pulang kerja sembari bercengkrama dengan tetangga.

Dulu, Shalima pasti akan berbaur dengan para ibu-ibu setelah menyapu halaman. Jika mereka mulai membicarakan orang lain, pasti ibunya datang. Memanggil Shalima pulang dan menegur gadis itu.

Ibundanya tak pernah suka Shalima membicarakan keburukan orang lain. Menurutnya, hari ini Allah masih menutup aib keluarga. Bagaimana jika suatu saat nanti terbuka karena membicarakan orang lain?

Shalima kemudian teringat pada rumahnya yang mungil. Entah siapa yang akan mengurusi. Mungkin pohon jambu di depannya sudah tumbang dan lapuk. Pot-pot bunga juga pasti pecah berhamburan.

Entah kapan Shalima memiliki kesempatan untuk pulang. Melihat kembali rumah masa kecilnya dan menyambangi pesantren tempat ia menuntut ilmu dulu.

"Mak, Yah, that rindu keuh ulon ke droneuh bandua,"¹ gumam Shalima.

Lama ia tak menziarahi makam keduanya. Rahul belum menunjukkan tanda-tanda ke Aceh. Shalima tidak berani memintanya. Selain karena bukan Rahul yang mengajak, hubungan mereka tidak cukup akrab.

Sejauh ini, Shalima hanya mendoakan kebahagiaan keduanya di alam kubur karena putrinya menuruti apa kata suami. Allah sudah menjanjikan itu dan Shalima berharap demikian adanya.

Seperti kisah seorang anak yang dilarang oleh suaminya untuk melihat jenazah orang tua untuk yang terakhir kalinya. Anak perempuan itu terpaksa menurut saja. Tanpa diketahui olehnya, orang tuanya Allah masukkan ke dalam surga.

Maka Shalima pun berharap demikian. Ia selalu berusaha berbakti dan menuruti apa kata Rahul dengan ikhlas. Tujuannya hanya satu. Allah menyayangi kedua orang tua Shalima dan menghadiahkan kepada mereka berupa surga.

Shalima menatap nanar ke arah cakrawala. Mungkin Allah menginginkan Shalima sedikit bersabar atas ujian yang diberikan. Toh, selama ini Allah tidak pernah meninggalkan dirinya. Ketika ibunda Shalima meninggal, ia malah dijemput keluarga kaya raya dari Jakarta untuk dinikahi dengan putra sulungnya.

Meski tidak mengenal mereka, batin Shalima memintanya untuk ikut saja. Hidup sebatang kara membuat Shalima berharap banyak pada keluarga Bramantyo. Tak peduli apa alasan mereka menjemput dan bagaimana mereka bisa mengenal dirinya, Shalima hanya ingin memiliki keluarga tempat dia pulang kala lelah melanda.

Namun, siapa sangka setelah pernikahan terjadi, Shalima terpaksa berpuas diri menjadi istri tak dianggap. Tujuh tahun sudah Shalima bersabar dengan kondisi seperti ini.

Shalima menghibur diri, keluarga Rahul baik layaknya pengganti kasih sayang suami. Akan tetapi, Shalima tidak ingin munafik. Dia membutuhkan seorang suami yang lembut, penuh kasih sayang, dan selalu menatap dirinya dengan penuh cinta.

Rahul memang baik, masih memenuhi haknya sebagai seorang suami. Satu yang tak bisa Rahul berikan pada Shalima, yaitu cinta. Shalima berharap Allah lekas menggantikan kepahitan rumah tangganya dalam waktu cepat. Ia tak tahu sampai kapan kesabarannya ada.

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang