"YEEYY, PANTAI! PANTAI! PANTAI!" teriak Bagas kegirangan.
Bocah itu meronta dari gendongan Rahul dan segera berlari menjejaki pasir yang terasa lembut di kaki. Sandalnya dilepas lalu dilempar ke sembarang arah. Melihat tingkah anaknya, Shalima hanya tertawa kecil. Tangannya memungut sandal Bagas, lalu mencari tempat teduh.
"Hati-hati, Nak! Mainnya di pinggir-pinggir aja!" ingat Shalima.
"Siap, Ummi Bos!"
Ini adalah kali pertama bocah itu berlibur dengan Rahul dan Shalima. Selama ini, ayahnya selalu sibuk dengan kantor. Tak ada waktu luang lebih banyak untuk keluarga kecuali saat malam tiba.
Bagas tidak pernah menuntut banyak. Meskipun sangat ingin meminta, dia berusaha untuk mengerti. Toh, saat ingin tidur, ayahnya selalu ada. Masalah liburan, bisa kapan-kapan saja.
Shalima sering mengarahkan Bagas agar tidak menjadi anak yang banyak menuntut. Bersyukur dengan apa yang mereka miliki sekarang itu lebih baik daripada mengharapkan hal lain.
Ada banyak anak-anak yang kurang beruntung di luar sana. Jangankan memikirkan liburan dan sekolah, untuk makan saja terkadang tak ada. Syukur, walaupun tak begitu paham, Bagas tahu ibunya meminta dirinya menjadi anak baik dan penurut.
Efek dari ajaran Shalima mulai terlihat. Bagas tumbuh menjadi anak shalih dan membanggakan. Tumbuh sebagai anak, keponakan, dan cucu tunggal di keluarga kaya tidak membuatnya manja. Ia harus berusaha baru bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Itu yang selalu Shalima tekankan.
"Ummi! Ayo, main!" Bagas melambaikan tangannya.
Lamunan Shalima buyar seketika. Ia membalas lambaian anaknya.
"Iya, Ummi ke situ, ya!"
"Bukannya kamu sakit?" Rahul bertanya tanpa menatap lawan bicara.
"Nggak, kok. Shalima udah sembuh."
"Oh, ya udah. Main sana," ujar Rahul.
Shalima tersenyum lebar. Rasa pusing dan mual belum sepenuhnya hilang. Akan tetapi, melihat tawa riang Bagas, tubuhnya terasa bugar.
"Shalima ke Bagas, ya, Bang."
"Iya."
Setelah melepas sepatu flatshoes hitamnya, Shalima segera berlari. Ia bermain dengan air dengan Bagas. Rahul ikut mendekat. Ia mengamati anak dan istrinya yang tengah bahu membahu menciptakan istana pasir yang tinggi dan indah. Namun, baru menyelesaikan separuh bagian, tiba-tiba ombak datang. Istana pasir pun lenyap seketika.
"Ummi! Istana kita hancur!" keluh Bagas.
Seruan kesal Bagas menciptakan lengkungan indah dari bibir Rahul. Ia hanya melihat saja. Tak berminat bergabung atau berdiri lebih dekat lagi. Mengamati saja sudah cukup.
Saat Shalima menyeka keringat di dahi, Rahul menyadari wajah pucat wanita itu mulai gosong. Cuaca yang panas, ditambah angin laut yang terus bertiup, memang mudah membuat kulit menjadi gelap.
Seingat Rahul, kulit Shalima memang cepat menyerap sinar matahari. Berbeda dengan kulitnya. Mau berjemur seharian pun tidak masalah. Paling hanya memerah, lalu keesokan harinya akan normal kembali.
Hal itulah menciptakan rasa heran di hati Rahul. Saat wanita lain takut kulitnya gosong karena terlalu lama berada di bawah sinar matahari, Shalima malah membiarkan kulit wajahnya terpapar panas tanpa takut gosong. Apa tidak takut kecantikannya hilang?
Wajah Shalima semakin merah dan kusam. Rona pucatnya sudah hilang. Rahul menduga, pasti dia kepanasan. Baju gamis hitam dan jilbab hitam yang Shalima kenakan akan membuat panas bertambah dua kali lipat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandiwara Shalima [Tamat]
General FictionTujuh tahun berada di bawah atap yang sama, tak membuat rumah tangga Shalima dan Rahul hidup bernapaskan cinta. Dingin, beku, dan tak saling mengucapkan kata-kata penuh kasih adalah warna yang menghiasi rumah tangga mereka. Tak ada yang Shalima hara...