Hampir seminggu, Shalima berada di rumah utama. Tak hanya belajar membuat kue, wanita itu juga belajar cara mengeraskan hati agar tak mudah luluh lagi. Sara Bramantyo mentornya. Si bungsu membagikan beberapa cara.
"Pokoknya, tiap Abang ngomongnya nyelekit, Mbak harus lawan. Dikit aja, nggak usah banyak-banyak. Mbak suruh aja Abang ngelakuin sesuatu sendirian. Nggak usah siapin baju, makan, kopi, kalau bisa ajak Bi Narsih sekongkol. Anggap aja itu kesempatan emas Mbak!" kata Sara kemarin.
Namun, di sela-sela mengaduk adonan kue pukis, tiba-tiba Rahul hadir tanpa diduga. Langkahnya tak bersuara, mobil tak berbunyi, dan baunya sama sekali. Dengan wajah datar tanpa ekspresi pria itu menghunus tatapan tajam tepat ke mata Shalima, lalu beralih pada Sara.
"Kebiasaan Abang sekarang datang tanpa diundang, ya?" sinis Sara sambil berkacak pinggang.
"Saya mau ngomong sama Shalima. Berdua!" ucap Rahul penuh penekanan.
"Apaan, orang lagi buat kue. Abang aja yang pergi. Jangan ganggu kita, deh. Nggak bisa liat orang bahagia bentar kayaknya," dumel Sara.
Tak ingin bertengkar dengan adik bungsunya, Rahul berusaha mengabaikan saja. Matanya menatap Shalima. Tatapannya mengandung perintah sekaligus ancaman.
"Pulang!" perintah Rahul.
Shalima menggeleng tanda tak mau. Bahkan tak mau repot-repot menatap wajah suaminya. Ia tetap mengaduk adonan dengan sangat hati-hati.
"Saya bilang, pulang! Kamu tuli?!" bentak Rahul emosi.
"Shalima nggak mau. Orang mau di sini, kok. Abang kalau mau pulang, ya, pulang aja sendiri. Jangan perintah Shalima terus. Emangnya Shalima pembantu apa?" gerutu wanita itu.
Rahul menatap bingung. Shalima sudah berani melawan setiap perkataannya. Biasanya, apapun yang disuruh akan segera dia lakukan tanpa menunggu perintah kedua.
Padahal, Shalima tengah ketar-ketir. Baru seminggu di sini sudah dijemput pulang. Padahal sudah bagus diizinkan berduaan dengan Karin di rumah sakit. Masih saja mencari perkara dengan dirinya.
"Saya suami kamu. Sejak kapan kamu pintar membantah suami?" tanya Rahul tak mengerti.
"Nggak ada yang membantah. Abang aja suka nyari ribut. Shalima datang ke sini atas izin Abang. Nggak lari dari rumah," sahut Shalima.
Berusaha meredam emosi, Rahul mencoba menarik napas panjang. Dia tidak tahu ada senyum kecil yang berusaha Shalima tahan. Sebuah senyuman bangga karena berhasil menolak untuk pertama kalinya.
"Kamu mau bikin saya malu di sini? Pulang atau saya seret kamu sekarang! Rumah kamu di sana, Shalima. Bukan di sini!"
Tanpa berbicara lagi, Shalima melangkah pergi. Ia meninggalkan Rahul di ruang tengah. Kalau dipikir-pikir, rasanya tak sopan bersikap seperti itu pada suami. Namun, sesekali Shalima memang harus melawan agar pria itu tahu dirinya tak mudah untuk ditekan lagi.
Shalima rela mengalah untuk kepentingan wanita lain yang tak lain dan tak bukan adalah kekasih suaminya. Masa sekarang juga harus mengalah dengan egonya juga. Tentu tidak semudah itu.
"Saya belum selesai ngomong, Shalima!" Rahul mengejar dari belakang.
Arya turun dari tangga dengan senyum sinis tercetak di wajahnya. Ada sedikit rasa bangga karena sang kakak ipar sudah tidak bodoh lagi. Tak sia-sia dia menyuruh si bungsu mengajarkan Shalima menjadi wanita kuat. Hasilnya tak mengecewakan, benar-benar seperti yang diharapkan.
"Nggak sia-sia nguras dompet buat beliin tas branded yang Sara mau," gumam Arya puas.
Shalima menaiki anak tangga, tapi tangan Rahul berhasil mencegah pergerakannya. Dengan kesal Shalima melepaskan diri. Bertengkar seperti ini bukanlah gaya Shalima. Apalagi dilihat Arya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandiwara Shalima [Tamat]
General FictionTujuh tahun berada di bawah atap yang sama, tak membuat rumah tangga Shalima dan Rahul hidup bernapaskan cinta. Dingin, beku, dan tak saling mengucapkan kata-kata penuh kasih adalah warna yang menghiasi rumah tangga mereka. Tak ada yang Shalima hara...