14. Terus Bersandiwara

1.9K 91 7
                                    

Shalima menggelengkan kepalanya. Tidak, seindah apapun dunia di luar sana, dirinya adalah seorang istri. Surga ada di telapak kaki suami. Sesungguhnya yang haram-haram dan mengundang dosa itu selalu nikmat di mata.

"Ma, bukannya Shalima nolak tawaran mama. Shalima udah jadi istri Abang. Selama Abang masih jadi suami Shalima, Shalima nggak bisa ninggalin Abang dan mengabaikan tugas Shalima," tutur Shalima lembut.

Tanpa ragu Shalima menolak tawaran Ratu. Sebisa mungkin bahasanya diatur agar tidak menyinggung.

"Sekalipun dia selalu nyakitin kamu?" Ratu mengangkat alis kirinya.

"Bahkan, sekalipun Abang ngancam mau bunuh Shalima, Shalima tetap di sini. Mama tau kenapa Asiyah digolongkan ke dalam wanita shalihah walaupun suaminya adalah Fir'aun? Karena Asiyah berbakti, Ma. Tiket ke surga itu pahit dan sakit. Itu yang Shalima tau," tutur Shalima lagi.

Sara mengelus pundak kakak iparnya--mencoba memberi kekuatan. Ia tahu tak mudah menjadi Shalima. Tetap tegar selama tujuh tahun berada di bawah atap yang sama dengan orang yang tak mencintainya sama sekali.

"Mama nggak sanggup biarin kamu terus-terusan seperti ini. Kamu bisa mati berdiri, Shalima!" Suara Ratu meninggi.

"Shalima selalu yakin, Ma. Apapun yang terjadi dalam hidup, semua tertulis di lauhl mahfudz. Nggak ada yang perlu disalahin terkait nasib Shalima sekarang. Semua orang pengen bahagia, Ma. Semua doa orang minta bahagia," ujar Shalima dengan mimik wajah tegar.

"Dan kamu belum bahagia!" tegas Ratu.

Wanita itu masih berupaya membuka mata Shalima. Berada di bawah kaki Rahul tidak akan membuat menantunya bahagia. Satu-satunya keputusan yang benar adalah membawa Shalima keluar dari neraka ini. Tinggal bersamanya lebih baik, daripada terus menahan pedih di hati bersama sang suami.

"Doa, Ma. Doa yang bikin Shalima percaya, suatu saat nanti Shalima akan bahagia. Antara semua doa yang dilangitkan, nggak ada satupun yang kembali ke bumi. Semua akan datang membawa jawaban di waktu yang berbeda. Shalima harus bersabar sebentar lagi," kata Shalima tenang.

Ratu menjerit. Ia merasa putus asa. Berbagai penyesalan timbul di dalam dada. Mengapa harus melahirkan Rahul yang tak bisa menghargai perempuan? Padahal Shalima telah memberikan dirinya keturunan.

Sekali lagi, Ratu menjerit. Memukul-mukul dadanya sendiri seperti orang depresi. Andai tak ditahan oleh Arya, Ratu pasti akan mengantukkan kepalanya.

"Oma! Jangan marahin Ummi!"

Shalima meletakkan telunjuk di tangan, sebuah permohonan agar tak lagi membahas permasalahan tentang Rahul di hadapan putranya.

Bagas berlari memeluk Shalima sambil menangis. Ia mengira sang ibu sedang dihakimi. Wajahnya basah oleh air mata, tapi matanya menatap tajam. Tidak akan ia biarkan siapapun menyakiti hati Shalima. Umminya adalah wanita berharga.

"Kenapa Oma marahin Ummi? Ummi salah apa?!" teriak Bagas seraya menunjuk Ratu.

Shalima menurunkan tangan sang putra dengan sentakan. "Nggak boleh nunjuk!" ingatnya.

"Kenapa Oma marahin Ummi?!" teriak Bagas lagi.

Dengan napas terengah-engah, Ratu berjongkok. "Oma nggak marahin Ummi. Oma sayang sama Ummi."

"Oma, Opa, Tante Sara, Om Arya, Om Faaz, Abi, semuanya!" Mata Bagas semakin tajam. "Nggak ada yang boleh marahin Ummi! Kalau Bagas tau ada yang jahat, Bagas marah! Marah beneran!"

Meskipun terdengar lucu, siapapun tahu ucapan Bagas itu serius. Shalima mengelus pipi anaknya. Ia terharu. Pasti Allah yang mengarahkan anak berusia tujuh tahun untuk mengeluarkan pembelaan terhadap ibunya.

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang