Setelah hari itu, Rima memutus hubungan dengan Ratu. Terakhir kali berbicara via telepon, emosi Rima benar-benar sulit ditahan. Dia sampai berteriak hingga mengejutkan Dewi yang sedang merendam baju.
Pasalnya, Ratu tak punya pendirian. Alih-alih membela menantu seperti yang pernah dilakukan, wanita tua itu malah mengungkapkan penderitaan Rahul.
Terang saja Rima berkata, "Bahkan kalau langit menimpa Rahul pun saya nggak peduli Tante, dia terlalu jahat buat diperhatikan!"
Ratu sempat terdiam, kemudian menjawab, "Walau bagaimana pun dia anak Tante, Rim. Tante bingung harus membela siapa. Tante tau ini karma karena Rahul udah nyakitin Shalima, tapi kamu pasti akan tau gimana rasanya jadi Tante."
"Nggak akan pernah!" Rima berusaha mengontrol emosinya. "Saya nggak akan pernah ngalamin itu karena Deka nggak akan pernah jadi Rahul."
"Tapi, ini bukan sepenuhnya salah Rahul. Andai Shalima sedikit melawan pasti keadaannya nggak akan kayak gini. Kamu nggak tau sehancur apa Rahul sekarang."
"Demi Allah, demi Deka yang hidup tanpa kasih sayang seorang ayah, dan demi mami papi yang meninggal dalam keadaan non-is, saya akhirnya paham gimana watak keluarga Bramantyo! Berani-beraninya Tante nyalahin Mbak atas kekacauan ini. Rasanya saya pengen tanya di mana pikiran Tante, tapi ... " Rima terkekeh.
Ia kehilangan kata-katanya. Benar kata orang, lambat laun serigala akan menampakkan taringnya. Rima bersumpah, tidak akan pernah membawa Shalima muncul di hadapan mereka kecuali Tuhan membalikkan hatinya.
Dua Minggu berlalu begitu saja. Rima yang kadung kecewa tak berniat menyentuh pesawat telepon. Sempat pula ia meminta Dewi membuangnya.
Namun, Dewi yang sudah khatam pada sifat Rima membiarkan saja. Nanti juga pasti butuh. Sekarang majikannya tengah dilanda badai emosi. Mana awet pula badainya.
Sampai-sampai Rima uring-uringan di tempat kerja. Alex dicueki. Salah sedikit langsung disemprot. Laser kerap memancar dari mata.
Jilbabnya yang berkibar saat angin kencang datang tak ubahnya seperti kain besi. Sekali kena badan, terbelah jadi dua. Satu sisi diempas angin ke mana saja. Sisanya disantap unggas-unggas kelaparan.
Maka demi menghibur Rima, Alex memaksa wanita itu membawa Shalima dan Deka jalan-jalan. Dewi ikut juga.
Sejak pertama menginjakkan kaki di sini, mereka belum pernah berkeliling Groningen. Padahal tempat ini bagus sekali.
Melihat gedung-gedung estetik, bersepeda hilir mudik, naik perahu di kanal, mengunjungi bangunan bersejarah, keluar masuk musium--semua sudah direncanakan Alex.
"Tidak ada alasan. Besok kujemput di rumah. Bukankah Deka libur?" Begitu kata Alex saat Rima ingin menolak ajakannya tempo hari.
"Dan hari ini, waktu tidurku dirampas Alex," gumam Rima dengan raut wajah lelah.
Bel rumah berbunyi saat Rima sedang sibuk mengisi botol-botol air minum untuk dibawa di perjalanan nanti. Ia melongok sedikit dari dapur untuk melihat siapa yang datang.
Tampak dari jendela besar di ruang tamu, seorang laki-laki tampak menunggu. Tak jelas itu siapa karena yang terlihat hanya separuh badan saja.
Spontan saja hati Rima was-was bukan main. Takut kalau itu adalah Rahul. Bisa saja pria itu merengek kepada ayah dan ibunya agar diberitahu di mana keberadaan Shalima.
Dalam waktu beberapa detik saja pikiran Rima melanglang buana. Terbit pula rasa sesal, tak seharusnya ia beritahu Ratu negara tujuan mereka.
"Wi, Wi!" panggil Rima.
"Iya, Non."
Dewi berlari-lari dari arah belakang. Tadi katanya menjemur pakaian.
"Ada tamu," kata Rima sambil menunjuk pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandiwara Shalima [Tamat]
General FictionTujuh tahun berada di bawah atap yang sama, tak membuat rumah tangga Shalima dan Rahul hidup bernapaskan cinta. Dingin, beku, dan tak saling mengucapkan kata-kata penuh kasih adalah warna yang menghiasi rumah tangga mereka. Tak ada yang Shalima hara...