4. Rencana Ratu

2.7K 125 5
                                    

Lampu-lampu di jalanan sudah menyala dengan terang. Beberapa lampu pijar sengaja dipasang mengelilingi batang pepohonan. Cantik, pijar yang sesaat hidup lalu mati itu laksana gambaran seorang gadis sedang merayu pemuda yang dicintainya. Berkedip pelan lalu menghilang mengundang rasa penasaran.

Di bangku depan, Rahul menyetir dengan tenang. Sesekali ia menggaruk hidung yang terganggu oleh minyak wangi yang dipakai Shalima. Wanginya memang tidak menyengat, bahkan terkesan lembut dan samar. Akan tetapi, dia tidak menyukai apapun yang berhubungan dengan Shalima.

Sementara di sebelahnya, Shalima menatap jalanan. Sampai hari ini ia masih terkesima setiap keluar malam. Jika di siang hari kota ini dipenuhi polusi, maka saat malam tiba mendadak gemerlap penuh pesona. Macetnya tetap sama. Hanya keindahannya saja yang berbeda.

Di bangku belakang, Bagas tampak tidak tenang. Sesekali duduk, terkadang berbaring, lalu melongok ke depan. Ia tidak suka perjalanan malam. Namun berhubung sang oma meminta mereka datang, Bagas tidak punya pilihan. Akhirnya, setelah lelah sendiri, Bagas teringat pada cerita yang belum usai tadi sore.

Bagas segera memajukan tubuhnya dan mencolek bahu sang ibunda. Ketika Shalima menoleh, ia tersenyum lebar penuh makna.

"Ummi, tadi sore ceritanya belum selesai, loh. Gimana kisah anak perempuan tadi? Bagas penasaran. Pas ibunya meninggal anak itu ngapain? Dia bunuh diri di hutan Korea, kah?" tanya Bagas tanpa jeda.

Tangan Shalima mengusap lembut kepala mungil Bagas. Entah dari mana putranya tahu soal hutan Korea itu. Menggelikan sekali.

"Dia nggak bunuh diri, Sayang. Justru dia makin mendekatkan diri sama Allah. Walaupun usianya masih muda, dia tahu ujian yang datang bertubi-tubi itu bentuk kasih sayang Allah sama dia. Bagas juga harus kayak gitu nanti. Misalkan terjadi sesuatu sama ummi atau sama Abi, naudzubillah, ya. Bagas harus kuat. Ya, Sayang?" tutur Shalima.

"Gimana, Mi?" Bagas tidak mengerti.

"Sabar menghadapi kejamnya hidup, mau nerima gimana pun takdir Allah dan bersyukur atas nikmat yang Allah kasih buat Bagas. Ngerti nggak, maksud Ummi?" Shalima menoleh sekilas ke belakang.

"Bagas ngerti, tapi Bagas pengen tau anak perempuan itu gimana pas udah dewasa? Dia nikah atau nggak, Mi?"

"Nikah, dong. Kan, dia udah ketemu sama pangeran berkuda putihnya." Pangeran yang tak pernah menganggap dia ada, lanjut Shalima dalam hati.

Mulut Bagas membulat mendengar jawaban Shalima. Dia senyum-senyum sendiri sebab pernah membaca kisah putri dan pangeran berkuda putih. Romantis, menurutnya.

"Masalahnya, bukan itu yang mau Ummi sampein ke Bagas. Mau tau nggak?" goda Shalima.

"Ya, mau, dong."

"Selain dia sabar sama takdir yang ngambil kedua orang tuanya, anak perempuan itu juga sabar sama hal lain. Selama hidupnya, dia nggak pernah makan daging, nggak pernah makan ayam, kadang dia cuma makan nasi putih sama minum air putih juga. Kalau ayahnya ada rejeki, baru beli tempe sama telur. Itu aja satu telur sama satu tempenya harus bagi tiga dengan ayah dan ibunya. Jadi, mereka sama-sama dapat bagian yang sama rata. Kecil, tapi kenyang," tutur Shalima.

Bagas terperangah. "Dia nggak ngamuk karena nggak bisa makan daging, Mi?"

"Nggak, lah. Tempe sama telur tadi rasanya lebih enak dari daging. Soalnya, dia pandai bersyukur sama apa yang dia punya. Bagas tahu, walaupun cuma mampu makan makanan sederhana mereka selalu kenyang dan puas. Itu semua karena rasa syukur yang selalu ada di hati mereka," jawab Shalima.

Wanita itu berusaha menyederhanakan setiap kata yang ia ucapkan. Walaupun Bagas tergolong anak cerdas, dia tetap masih kecil. Usianya baru tujuh tahun. Kosakata yang mampu diserap dan dimengerti tidak banyak.

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang