Rima terbeliak kaget saat melihat banyaknya daun dengan tulang menjari itu. Ia tahu di negara Eropa menganut sistem kebebasan. Suka hati mau hidup bagaimana selagi bahagia dan tidak mengganggu orang.
Namun, siapa sangka di sini malah ada toko ganja. Tanaman yang dikarang di Indonesia, meksipun dikoleksi sebagai obat semata. Rima menatap Alex dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Pria itu malah terbahak. Diikuti Caroline yang bahkan terang-terangan menunjukkan raut wajah geli.
"Wanita cantik itu sepertinya sedang mengalami shock culture," kata Caroline di sela-sela tawa.
"Dia terlihat menyedihkan dan lucu di saat yang bersamaan. Di usianya yang sudah tua, pantaskah kita menyebutnya polos?" ejek Alex.
Wajah Rima langsung berubah masam. Agak malu, tapi juga kesal. Alex menertawakan dirinya tanpa perasaan. Padahal Rima hanya terkejut, itupun tidak berlebihan.
Bibir Rima mencibir dan membuang muka. Ia berencana merajuk. Lalu libur bekerja hingga Minggu depan. Biar saja Alex kelabakan.
"Lihatlah, Profesor! Dia merajuk!"
Tanpa merasa bersalah, Alex terus melancarkan ejekannya. Hanya Caroline yang mengerti, Rima sudah benar-benar makan hati.
"Sudah, sudah. Hentikan!" Caroline menarik napas panjang untuk menghentikan tawanya.
"Kau benar-benar tidak tahu?" Alex menatap Rima.
Dengan polos Rima bertanya, "Tahu apa?"
"Di sini ganja itu legal," sahut Caroline.
"Dan kau akan menemui banyak sekali toko ganja. Kalau tidak kuat dengan baunya, kau bisa mabuk hanya dengan melewati tokonya saja," timpal Alex.
Mata Rima melebar, lalu normal seperti semula. Kepalanya mengangguk-angguk. Ia menunduk sedikit lalu mengulang penjelasan mereka pada Shalima.
Meskipun tak ada respon, ia begitu antusias menceritakan itu. Rima melakukannya dengan sungguh-sungguh. Seakan-akan Shalima akan menanggapi melalui telepati.
Caroline menatap Alex lekat. Keningnya berkerut. Seolah sedang menggali cerukan ingatan.
"Tatapanmu sedikit mengerikan, Profesor," komentar Alex.
"Sebentar, aku sedang mencoba menggali kembali ingatanku yang sudah lama terkubur, mengingat usiamu hampir sebaya dengan anak pertamaku."
Rima terbahak-bahak melihat wajah Alex padam sinarnya.
"Baiklah, aku ingat sekarang. Kau adalah Alex si mahasiswa yang selalu mengejar ke manapun aku pergi demi lulus dengan cepat. Benar, kan?" Caroline menertawakan karena betapa menggelikannya momen itu.
"Tentu saja kau benar, Profesor." Bibir Alex cemberut. "Jangan menertawaiku lagi. Aku bisa malu. Sebaiknya kalian berkenalan dulu. Ini adalah dua temanku dari Indonesia!" Alex mengode Rima untuk memperkenalkan diri.
Sontak saja Rima mengembangkan senyum manisnya. Dia hanya berani bar-bar pada Alex, sedangkan di depan wanita aset universitas terkenal ini, Rima harus bersikap manis.
"Halo, Profesor Caroline! Namaku Rima Shakila dan ini saudariku, Shalima Karim. Kami sedang beradaptasi dengan lingkungan Groningen. Jadi mohon maaf jika tingkahku sedikit kampungan. Senang bertemu dengan orang hebat seperti anda," Rima tersenyum manis sembari menjabat tangan Caroline.
Caroline tertawa. "Jangan panggil aku profesor. Ini di luar jam kerjaku. Panggil saja Madam Cary. Senang mengetahui kalian dari Indonesia. Anak didikku banyak yang berasal dari negeri tropis itu. Mereka muslimah dan tentu saja ramah sama sepertimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandiwara Shalima [Tamat]
General FictionTujuh tahun berada di bawah atap yang sama, tak membuat rumah tangga Shalima dan Rahul hidup bernapaskan cinta. Dingin, beku, dan tak saling mengucapkan kata-kata penuh kasih adalah warna yang menghiasi rumah tangga mereka. Tak ada yang Shalima hara...