9. Urusan Hati

1.9K 109 8
                                    

"Non Shalima!" panggil Bi Narsih.

Wanita tua itu tampak gelisah. Jemari tuanya saling bertaut antara satu dengan yang lain. Mengetahui wanita itu ingin menyampaikan sesuatu, tapi terhalang rasa ragu, Shalima bangkit dan mengelus punggung Bi Narsih.

Perlakuan itu membuat Bi Narsih sedikit tenang. Setelah mengambil napas dalam-dalam, ia memberitahukan ada hal genting lagi penting tengah terjadi di keluarga Bramantyo. Shalima menaikkannya kedua alisnya. Pertanda ingin tahu ada kejadian apa.

Namun, lagi-lagi Bi Narsih kesulitan menyampaikan berita tersebut. Bukannya apa, Shalima mudah panik serta ceroboh jika mendengar kabar buruk terkait Ratu dan keluarga.

"Ada apa, Bu? Bilang aja. Kalau Ibu nggak bilang justru Shalima bakalan kepikiran terus," kata Shalima gusar.

Bi Narsih masih tampak gelisah. Tak kunjung bersuara walau dipaksa.

"Jangan dipendam, Bu. Cinta aja kalau dipendam sakit!" kelakar Shalima, di sela-sela rasa panik yang menjalari seluruh pembuluh darahnya.

Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Selain menenangkan Bi Narsih, Shalima juga sedang mengejek diri sendiri yang memendam cinta untuk Rahul. Cinta tak terbalas, bertepuk sebelah tangan, cacat, dan tak akan pernah tumbuh di tegarnya karang hati sang suami.

"Anu, Non. Barusan Bibi dapat telepon dari Nyonya," ucap Bi Narsih.

"Iya, terus Mama bilang apa?" Shalima takut kolesterol Ratu kambuh lagi. "Mama baik-baik aja, kan, Bi? Gimana suara mama? Lemas atau biasa aja? Terus mama ada nyariin Shalima nggak?"

"Nyonya baik-baik aja, Non. Suaranya malah kuat sekali," sahut Bi Narsih.

"Terus ada masalah apa? Apa papa yang sakit?" buru Shalima tak sabar.

"Non Sara, Non. Udah dua hari mogok makan. Waktu ditanya kenapa, Non Sara nggak mau jawab. Kamarnya dikunci biar nggak ada yang masuk," ujar Bi Narsih cemas.

Mata Shalima melebar. Tak pernah sekalipun Sara merajuk begitu parah. Jika ada masalah, pasti langsung terbuka pada dirinya atau pada Ratu. Apa kali ini masalahnya sangat berat hingga Sara berbuat demikian?

Usia Sara masih muda. Ia sedang menjalani bimbingan skripsi bersama dosen. Masalah kecil pun akan menjadi ladang stres baginya. Bukan tidak mungkin gadis itu berbuat nekat di kamar tanpa diketahui siapapun.

Shalima tidak menganggap remeh kabar itu. Begitu tahu Sara tidak baik-baik saja, adrenalinnya terpacu. Shalima berharap bisa segera terbang ke rumah utama demi menjenguk adik ipar tercinta.

"Bu, Shalima minta tolong boleh?" pinta Shalima.

Bi Narsih merasakan dinginnya tangan Shalima saat wanita itu menggenggam tangannya. "Apa, Non?"

"Shalima mau siap-siap dulu. Ibu tolong telepon mama, terus bilang Shalima bakalan ke sana sekarang. Mama jaga-jaga pintu kamar Sara mana tau dia nekat. Tolong, ya, Bi?!"

Usai mengucapkan itu, Shalima berlari tergopoh-gopoh menaiki anak tangga. Itulah yang membuat Bi Narsih ragu menyampaikan berita Sara pada Shalima. Kalau sudah menyangkut orang lain, keselamatan diri sendiri tak lagi diprioritaskan.

Alhasil Bi Narsih hanya mampu berdiri dengan cemas di ujung tangga. Mengabaikan permintaan Shalima yang sedang panik luar biasa. Dalam hati, Bi Narsih tidak rela melihat Shalima mati-matian demi keluarga Bramantyo, saat putra mahkota mereka menyakitinya.

"Ya Allah, kenapa keluarga ini yang jadi keluarganya Non Shalima. Bahagia nggak, capek lahir batin iya," gumam Bi Narsih miris.

***

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang