13. Kamu Bisa Mati!

2.8K 109 3
                                    

“Sebenarnya, bagi kebanyakan orang, ini hal biasa. Malahan biasa sekali, tapi saya tidak ingin menutup mata. Ada banyak kasus kematian gara-gara penyakit ini."

"Kanker?" Ratu terbelalak.

Menantu baik hatinya sedang terkena penyakit mematikan. Ratu tidak bisa membayangkan, jika itu benar-benar kanker.

"Bukan, tidak seganas tumor, tapi nantinya semua rasa sakit yang dia rasakan di setiap inchi tubuhnya berasal dari sini.” Dengan pelan Faaz berusaha menjabarkan hasil pemeriksaannya.

“Seburuk itukah? Shalima sakit apa?” sergah Ratu.

Menurutnya penjelasan Faaz terlalu bertele-tele. Tak peduli mengulur waktu atau bukan, Ratu ingin kepastian. Ini dunia nyata. Bukan sinetron di saluran ikan terbang. Menurut Ratu, seorang dokter harus lugas dan tidak banyak basa-basi terkait informasi pasiennya.

“Maag kronis. Saya nggak tahu penyebab pastinya kenapa. Kalau Bi Narsih menjamin pola makannya sehat dan makanan yang dia makan tidak menyiksa lambung, saya yakin Shalima terkena maag kronis karena banyak pikiran,” jelas Faaz pada akhirnya.

Ratu menutup mulut dengan tangan kanan. Ia terkejut mendengar penuturan dari Faaz. Selama ini tak pernah sekalipun menantunya mengeluh tidak nyaman atau tertekan dengan kondisi keluarga. Raut wajah ceria serta mulut cerewet adalah ciri khas Shalima sejak wanita mungil itu mulai menjadi menantunya.

Maag kronis tidak didapatkan secara langsung. Ada tahap-tahapnya, dimulai dari maag biasa. Jika selama ini Shalima terlihat baik-baik saja, berarti dia mengabaikan sakitnya.

“Selama ini dia nggak pernah ngomong apapun, Faaz," lirih Ratu sedih. "Bi, Shalima pernah keliatan sakit?"

Bi Narsih menggeleng cepat. "Saya selalu di dekat Non Shalima, Nyonya. Nggak pernah sekalipun Non Shalima bilang sakit. Cuman, belakangan ini wajah Non Shalima sering pucat, terus kepalanya sering sakit. Saya nggak berani ngomong karena Non Shalima sendiri yang melarang."

Faaz mengangkat bahu. Shalima memang tipe wanita yang tabah dan tegar. Susah bagi orang seperti itu untuk berbagi rasa sakit kepada orang lain. Memberi tanpa berharap timbal balik. Apa semua perempuan Aceh setulus itu?

"Saya minta sama Bibi, handle semua pekerjaan rumah! Jangan biarin Shalima turun ke dapur dan jaga makanannya!" titah Ratu serius.

"Kalau kambuh, apa reaksi tubuhnya sama seperti penderita maag pada umumnya?" Arya angkat bicara.

"Tergantung. Kalau sudah kronis, takutnya dia sesak napas dan sakit kepala hebat. Kematian karena maag umumnya terjadi karena sesak. Kemungkinan terburuk, depresi. Ibarat gangguan mental, penderita maag kronis seolah-olah mendapat bisikan negatif di kepala dan hatinya sehingga terkadang, maaf, bertingkah laku seperti orang tidak waras," tutur Faaz lagi.

"Penanganannya?" tanya Arya lagi.

"Endoskopi. Shalima harus dibawa ke rumah sakit secepatnya. Mungkin nanti ada tes lab juga untuk mengecek kondisi organ lain, siapa tau ada yang saya lewatkan."

“Terus, sekarang kita harus gimana?" Sara melempar sebuah pertanyaan.

Besar harapan Sara agar diagnosis Faaz salah. Dia pernah mendengar kondisi seseorang yang menderita maag kronis. Tingkahnya seperti orang gila, sekalinya kambuh selalu merasa hendak ditarik nyawa.

“Apanya yang gimana? Maag itu penyakit biasa. Semua orang punya kalau telat makan dan nggak jaga kesehatan," sahut Rahul sinis.

"Sara calon dokter, Bang. Buat apa nanti Sara pakai jas putih kalau orang yang Sara sayang nggak bisa Sara perhatikan!" Sara melayangkan tatapan marah.

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang