22. Luka Batin

2.1K 103 5
                                    

Rima benar-benar serius dengan ucapannya. Dia telah masuk Islam kembali. Kemarin Rima berkunjung ke rumah Shalima dengan pakaian serba tertutup.

Aleea pun kembali ke negeri asalnya. Baru semalam Aleea mengirim E-mail berupa gambar artikel yang dimuat pada majalah kampus dan dibaca oleh ribuan mahasiswa. Kabar gembiranya, Aleea juga memilih mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi muslimah sejati.

Seperti biasa, usai menikmati pemandangan sejuk di waktu Subuh dari jendela kamar, Shalima membangunkan Bagas. Kali ini, mereka salat berdua saja. Lagi-lagi, pria itu tidak pulang ke rumah. Shalima sengaja tak mencari. Ia lelah dengan perlakuan Rahul yang makin menjadi-jadi.

"Ummi, Abi nggak pulang-pulang, ya?" tanya Bagas saat menunggui Shalima membuat susu.

"Abi banyak kerjaan di kantor. Makanya harus nginap di sana. Oh iya, berhubung ini hari Sabtu, Bagas mau ke rumah Oma nggak?" tawar Shalima, lebih tepatnya mengalihkan pembicaraan.

"Nginap sampai besok?" tanya Bagas antusias.

Mata bocah itu berbinar. Ia sudah membayangkan akan bermain dengan Sara seharian.

Shalima mengangguk. "Boleh, asal Bagas baik budi. Kalau perlu apa-apa, tapi bisa dilakukan sendiri, jangan ngerepotin orang. Paham maksud Ummi?"

"Paham, Ummi. Nanti Bagas pipis sendiri, makan sendiri, mandi sendiri, pakai baju sendiri. Pokoknya Bagas nggak akan nakal."

"Ummi percaya."

Di luar sudah terang. Shalima menjauh sebentar untuk menelepon Sara. Gak jauh berbeda dari sang putra, Sara pun gembira mengetahui keponakan semata wayang akan menginap di rumahnya.

Shalima segera mempersiapkan keperluan si buah hati selama dua hari di sana. Walaupun di rumah neneknya, Shalima tidak mau merepotkan orang lain. Lalu Bagas diminta menunggu di bawah sebentar sampai semua keperluan Bagas dibawa ke bawah.

"Non Shalima istirahat aja di kamar. Biar Bibi yang temenin Den Bagas nunggu Non Sara," ucap Bi Narsih.

Bagas mengaminkan. Dia tidak keberatan menunggu bersama Bi Narsih. Terpenting, ibunya bisa beristirahat dengan benar.

Shalima masuk ke kamar dan duduk di atas tempat tidur. Ada Shalima Karim yang lain di pantulan cermin. Wanita lemah tak berdaya, berbeda dengan beberapa tahun yang lalu sebelum bertemu dengan keluarga Rahul.

Setetes air mata jatuh menelusuri jejak yang sama seperti sebelumnya. Akhir-akhir ini, Shalima terlalu banyak menangis. Ia memang tidak mendapat luka fisik, tapi luka batin yang diperoleh benar-benar menyiksa.

Shalima kembali melihat wajah pucat yang semakin pasi. Tubuh kurusnya semakin kering. Itu benar-benar buruk.

"Allah, hamba percaya. Semua doa-doa hamba akan terjawab suatu saat nanti. Hamba nggak akan pernah menyalahkan takdir, tapi hamba butuh mengeluh, Ya Allah."

Suara mobil berhenti di pekarangan rumah menyita perhatian Shalima. Pasti Sara. Shalima tak ikut mengantar Bagas ke mobil. Ia hanya menatap mereka berdua dari lantai dua. Anak itu tampak bahagia sekali.

"Maaf, Nak. Ummi harus mengungsikan kamu ke rumah Oma. Ummi butuh waktu untuk menyendiri, Nak. Ummi nggak mau Bagas lihat Ummi lelah," rintih Shalima sembari merunduk menahan tangis.

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang