Hari-hari berat penuh konflik akhirnya dimulai. Jika dulu masih aman terkendali dibawah genggaman sandiwara Shalima, sayangnya itu tidak berlaku lagi. Hubungan Shalima dan Rahul semakin renggang. Akan tetapi, rasa cinta yang ada di hati wanita Aceh itu juga semakin besar.
"Shalima!" tegur Rahul setelah sebulan penuh saling diam.
Wanita itu tidak menjawab, tetap diam menopang dagu di depan jendela sembari menikmati suasana Subuh. Kali ini taburan bintang benar-benar luar biasa banyak. Rembulan pucat juga masih menggantung dengan anggun di langit kelam.
"Shalima, saya mau ngomong sebentar. Sejak kapan kamu mengabaikan permintaan saya?"
Lagi-lagi suara Rahul hanya dianggap angin lalu saja. Shalima tak berminat bicara. Mendeham saja dia tak mau. Lidahnya kelu.
"Shalima!" Tangan Rahul menyentak pergelangan tangan Shalima hingga badannya terbalik secara paksa.
Mata Rahul terpaku pada tatapan kosong istri sahnya. Kondisi tangannya setengah memeluk pinggang Shalima. Ini adalah kali pertama mereka berdekatan. Mata Rahul terkunci pada mata penuh luka itu.
Setetes air mata turun menelusuri wajah kurus milik Shalima. Ia melepaskan diri. Tak mau bersentuhan dengan pria yang sudah menyentuh wanita lain. Pria yang mengkhianati dirinya yang mati-matian berusaha menjaga diri dan menjaga nama baik keluarga mereka.
Langkah telapak kaki mungil itu mendekati pintu, tapi tangan Rahul berhasil menahan laju pergerakan Shalima. Hangat, tapi tak mampu menghangatkan hati yang kini telah dingin dan hampir mati.
"Gini sikap kamu sebagai istri? Saya belum bicara, tapi kamu mau pergi. Akal sehat kamu udah hilang, kah?" cecar Rahul.
Shalima memejamkan mata. "Ngomong terus, Bang. Ngomong yang banyak. Shalima dengerin semuanya biar Shalima bisa keluar dari sini. Kalau perlu, Shalima keluar dari rumah ini dan ngebiarin Abang hidup sama orang yang Abang cinta," ujar Shalima.
"Jangan bikin saya marah! Kamu hanya perlu jawab pertanyaan saya." Rahul menatap serius. "Siapa yang ngasih tau mama soal hubungan saya dengan Karin? Tadi mama telepon dan minta kita datang ke sana buat ngomongin masalah ini. Saya harap, bukan kamu yang ngasih tau mereka," tegas Rahul.
Rahangnya mengetat. Ia marah sekali saat mengingat sumpah serapah yang Ratu layangkan untuk Karin.
"Kenapa? Takut mama nentang hubungan abang? Takut papa ambil jabatan Abang di kantor? Takut mama sama papa misahin kalian berdua? Nggak perlu setakut itu, Bang. Bukannya Abang sudah biasa main secara diam-diam? Kenapa sekarang malah ketakutan?" cerca Shalima tanpa ampun.
"Kamu hanya perlu jawab pertanyaan saya, Shalima. Bukan nanya balik!"
"Suka-suka Shalima. Kenapa hanya Abang yang boleh semena-mena sama Shalima selama tujuh tahun ini? Kenapa Shalima nggak boleh balas meskipun hanya sekali? Apa ini adil?"
Rahul mengacak rambut frustasi. Wanita ini sudah pintar bersilat lidah. Sekarang yang diperlukan adalah jawaban, tapi Shalima malah memojokkan dirinya. Ia mengaku bersalah, tapi semua sudah terlanjur. Cintanya pada Karin tak bisa dihilangkan begitu saja.
"Bukan Shalima. Ngapain Shalima repot-repot ngurusin urusan kalian? Tenang aja. Shalima bakalan bujuk mama buat merestui hubungan kalian. Biar Shalima yang bukain badan!" Shalima berbalik badan dan berniat pergi.
"Kamu cinta sama saya?" tanya Rahul dengan suara yang mengecil.
Mendengar itu, Shalima menggigit bibirnya kuat-kuat hingga rasa asin mulai tercecap. Ia kembali menghadap Rahul dan memberanikan diri menyentuh wajah sang suami. Jemari lembutnya menelusuri tiap lekuk wajah Rahul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandiwara Shalima [Tamat]
General FictionTujuh tahun berada di bawah atap yang sama, tak membuat rumah tangga Shalima dan Rahul hidup bernapaskan cinta. Dingin, beku, dan tak saling mengucapkan kata-kata penuh kasih adalah warna yang menghiasi rumah tangga mereka. Tak ada yang Shalima hara...