Bagas terbangun saat mendengar suara ramai berasal dari depan. Ia turun dari tempat tidur dengan hati-hati. Pemilik sepasang kaki mungil itu segera berlari mencari sumber suara.
Matanya membulat kala melihat sang ibu terbaring lemah di atas kasur dalam kondisi terpejam. Ia tak peduli pada orang-orang yang ada di ruangan itu. Perhatian Bagas hanya terpusat pada Shalima.
"Ummi, Bagas nggak ditemenin di kamar," ujar Bagas.
Shalima terkekeh. "Iya, nih. Ummi malah tidur di sini. Bukannya temenin jagoannya Ummi."
"Bagas naik boleh nggak?" izin Bagas.
Anggukan Shalima membuat Bahas senang. Pelan, ia merangkak naik ke atas tempat tidur. Lalu duduk di dekat kepala Shalima.
"Ummi capek, ya, di rumah?" Bagas membelai pipi mulus Shalima.
Mungkin pertanyaan itu ditujukan untuk kegiatan rumah lain. Akan tetapi, bagi para orang dewasa, Bagas seolah menanyakan batin Shalima. Bukan fisiknya.
"Enggak, kok. Ummi nggak capek. Abis masak tadi mata Ummi kayak ngantuk banget. Pas Ummi rebahan, eh, ketiduran," alibi Shalima.
Suaranya bergetar. Benar, jika batin sudah lelah duluan, pertanyaan sederhana pun pasti akan terdengar menyakitkan. Andai saja Shalima bisa menjawab sejujurnya pasti akan terasa lebih lega.
"Tapi, ada Om Dokter!" tunjuk Bagas ke arah Faaz.
"Eh, nggak boleh nunjuk-nunjuk!" tegur Shalima cepat. "Om Dokternya datang ke sini barengan sama Tante Sara. Kan, temennya Abi, temen Tante Sara juga."
"Oh." Bagas mengangguk sekali.
Mata berlensa abu-abu itu memandangi satu persatu orang-orang yang ada di kamar tamu. Ratu, Sara, Arya, Bi Narsih, dan Faaz. Banyak sekali.
"Terus, Oma ngapain ke sini? Rame-rame gini mau main, kah?" tanya Bagas.
"Rencananya, Oma mau main sama Bagas. Sekalian bawain hadiah buah Ummi, tapi Oma malah lupa bawa. Ya udah, Oma suruh aja Tante Sara bawain. Tau-tau ada Om Arya sama Om Faaz ikut ke sini," jawab Ratu panjang lebar dengan bahasa sederhana.
Ratu berusaha mengarang cerita dengan ekspresi yang tetap tenang. Cucunya tergolong cerdas. Ia mampu menebak situasi hanya dengan mengamati. Bahkan, Ratu yakin dia tak akan langsung percaya dengan ceritanya, tapi setidaknya Ratu harus memberi jawaban untuk pertanyaan sang cucu.
Arya menghela napas panjang. Keluarga Bramantyo benar-benar hebat. Sandiwara macam apapun bisa dilakoni tanpa cacat. Sampai-sampai Shalima ikut ketularan.
"Hadiahnya mana?" Mata Bagas mencari-cari.
Sara meringis saat ditatap Ratu. Mamanya memberi kode agar segera menjawab pertanyaan Bagas. Rasanya berdosa membohongi anak kecil, apalagi keponakan semata wayangnya.
"Mana, ya, Tante?" Ratu mengode lagi.
"Oh, hadiahnya ketinggalan di teras pas Tante mau pakai sepatu," sahut Sara cepat.
"Oh." Bagas mengangkat bahu acuh, lalu ikut berbaring di sebelah Shalima.
Sebenarnya, Bagas tak percaya pada jawaban mereka. Namun, ia ingin menjaga ibundanya. Dapat dirasakan olehnya, kalau kondisi Shalima tidak baik-baik saja.
"Ummi pasti capek. Bagas tahu Ummi sering nangis. Apa duduk di rumah secapek itu, Mi?" tutur Bagas.
Semakin perih saja hati Shalima mendengarnya. "Nggak ada kegiatan yang nggak bikin capek, Sayang. Duduk aja pegel, capek."
"Bukan itu, Mi. Bagas mau bilang, selama ini Ummi selalu cerita banyak ke Bagas. Bagas ingat ada satu cerita tentang Fatimah, putri Nabi, yang nangis karena capek giling gandum. Nangisnya bentar, abis itu Fatimah kuat lagi. Bagas ingat, itu sama kayak Ummi," oceh Bagas tanpa tahu ada banyak hati yang teriris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandiwara Shalima [Tamat]
General FictionTujuh tahun berada di bawah atap yang sama, tak membuat rumah tangga Shalima dan Rahul hidup bernapaskan cinta. Dingin, beku, dan tak saling mengucapkan kata-kata penuh kasih adalah warna yang menghiasi rumah tangga mereka. Tak ada yang Shalima hara...