19. Masa Lalu Rima

1.6K 78 2
                                    

Waktu berlalu dengan cepat semenjak ditemukannya noda lipstik merah di kemeja putih milik sang suami. Rumah itu tetap sama. Shalima masih melakoni sandiwara. keluarga Rahul pun tetap menjadi panutan tetangga sekitar. Adem ayem, tanpa keributan.

Sejak dahulu kala, keluarga ini menjadi buah bibir warga kompleks. Suami mapan, tampan, shaleh, serta setia. Istri cantik, pandai menjaga diri, setia, serta amanah. Lalu dikaruniai anak laki-laki yang juga tampan, pintar, shaleh, dan berhati mulia.

Andai saja mereka tahu bahwa ada hati yang mati-matian berusaha tegar menjalani kehidupan penuh derita, mungkin pemikiran tersebut akan berubah. Nyatanya, Shalima berusaha tetap mempertahankan nama baik keluarga Bramantyo dengan mengorbankan dirinya

Hari ini, Shalima akan menghadiri pengajian selepas mengantar Bagas ke sekolah. Meski keadaannya sudah membaik, rona pucat di wajah Shalima seakan tak mau hilang. Untung saja wanita itu bisa merias wajah. Jadi, wajah pucatnya bisa sedikit disamarkan.

Sejak malam itu pula, sikap Shalima menjadi lebih pendiam dan memilih mengantar jemput Bagas sendiri. Namun, ia tetap menjalankan kewajiban sebagai istri. Menyiapkan baju kerja, menyediakan air hangat untuk mandi, menyeduh kopi atau teh setiap pagi, dan membereskan segala keperluan Rahul setiap hari.

"Mbak Shalima!"

Suara itu terdengar familiar. Beberapa saat kemudian seorang wanita cantik berdiri di hadapan Shalima. Kali ini pakaian wanita itu cukup tertutup dibandingkan saat pertama kali bertemu--terusan kuning lembut semata kaki dengan lengan panjang.

"Masyaallah, cantiknya," puji Shalima lirih.

"Mbak, maaf. Aku belum sempat hubungi Mbak. Belakangan kerjaan banyak banget. Aku harus selesaikan semuanya biar kita bisa ketemu. Duh, udah lama banget lagi aku simpan nomor Mbak," oceh Shalima.

"Nggak apa-apa. Saya paham," jawab Shalima. "Malahan saya hampir lupa kalau kamu mau ke rumah. Maafin saya, ya?"

"Aku yang harus minta maaf, Mbak. Jujur, banyak banget yang pengen aku ceritain. Mulai dari sebelum masuk pesantren sampai hari ini. Cuma Mbak yang boleh denger cerita ini," ucap Rima panjang lebar.

"Saya paham kamu adalah seorang wanita karir. Wajah kamu itu wajah pekerja keras," hibur Shalima. "Kalau mau ke rumah, hubungi saya dulu, ya? Insyaallah, saya siap dengar cerita kamu. Sepanjang apapun itu."

Senyum manis Rima tampak berbeda. Kali ini, senyum itu mengandung beban berat yang sudah dipendam lama.

Tanpa membuang waktu, Rima mengajak Shalima singgah ke sebuah restoran yang ada di seberang mesjid. Ada waktu dua jam sebelum anak-anak pulang sekolah. Rima ingin berdekatan dengan Shalima. Sosok itu sangat lembut dan menenangkan.

"Sebelumnya, kenapa kamu ada di sini?" tanya Shalima dengan mimik wajah heran.

"Ada sedikit kerjaan, Mbak. Aku harus mengawasi kerjaan anak buahku. Ada proyek gedung baru di daerah sini. Aku arsitek, Mbak. Punya anak buah yang ngerjain bangunan juga," jawab Rima sambil tertawa.

Shalima menggeleng-geleng takjub. "Arsitek? Wah, gajinya pasti besar, ya. Rupanya bakat gambar rumah benar-benar bawa kamu ke dunia arsitek, ya?"

"Gajinya kecil, Mbak."

"Tujuan kamu merendah di hadapan saya biar apa? Biar saya nggak minta traktir?" canda Shalima.

Mereka tertawa bersama lalu bernostalgia kala masih menuntut ilmu di pondok pesantren. Rima adalah santriwati yang amat berbakat di bidang menggambar. Malahan, aula pesantren dia yang rancang.

Saat itu, ada sayembara kecil-kecilan. Siapa yang bisa menggambar secara detail sebuah aula lengkap dengan ruangan serta tata letak akan diberi hadiah.

Rima yang baru satu tahun di pesantren bersemangat sekali. Sepulang dari mesjid, ia langsung mewanti-wanti teman-teman sekamar agar tak ada yang berani mengganggu dirinya.

Sandiwara Shalima [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang