11. Pelarian Diri

3.9K 617 103
                                    

HAPPY 20K VIEWERS!!! 🎉😭
Btw ada Adriaan memantau kalian dari mulmed itu wkwk.

.....

"Ayo turun," ajak Adriaan, pria itu mengulurkan tangan kirinya untuk Marsih genggam agar bisa membantunya keluar dari pedati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ayo turun," ajak Adriaan, pria itu mengulurkan tangan kirinya untuk Marsih genggam agar bisa membantunya keluar dari pedati.

Tangan dingin Marsih langsung menyentuh tangan Adriaan pelan. Ia sungguh takut kalau Adriaan akan mencurigainya akibat tangannya yang mendingin dikarenakan gugup. Untuk kali ini Marsih merasa sangat takut, hingga aliran darah pun menolak mengaliri tangannya. Ia kembali menyelaraskan nafasnya pelan saat Adriaan sudah berhasil menuntunnya keluar.

"Kau tak apa?" tanya lelaki asing itu khawatir, rupanya ia menyadari bahwa tangan Marsih yang sangat dingin dan wajah gadisnya yang sedikit memucat. Tentu saja Adriaan sedikit khawatir akan wanita dihadapannya ini jatuh sakit.

"Aku tak apa Tuan Hoëvell, aku hanya sedikit tidak enak badan," tutur Marsih pelan mencoba menutupi rasa gugup yang ia miliki. Tangannya hampir gemetar saat ia mengatakan hal itu, dia memang tak biasa berbohong, itulah mengapa dirinya sangat gelisah tapi ia sekuat tenaga mencoba untuk tetap tenang.

"Kalau begitu ayo pulang saja, urusan ini dapat ditunda jika kau merasa tidak sehat." Marsih segera menoleh saat Adriaan mengatakan hal itu. Tidak, rencana ini tidak boleh gagal. Mau bagaimana pun hanya ini adalah kesempatan bagus untuknya melarikan diri.

"Tidak, Tuan, kita sudah terlanjur sampai. Lagipula aku masih dapat berdiri tegak, lihat," ujar Marsih menunjukkan bahwa dirinya masih bisa berdiri walau sedikit sakit.

Marsih menelan ludah perlahan, berharap Adriaan akan mempercayai kebohongannya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, dia sampai takut kalau jantungnya itu bisa meledak saking buncahnya.

"Kita pulang. Kau sakit, kita harus pulang!" Adriaan menarik tangan kanan Marsih untuk membawanya kembali masuk ke dalam pedati.

Gadis ini dengan sengaja menabrakkan tubuhnya pada Adriaan. Menempelkan kedua badan mereka, wajah Marsih mendarat tepat di dada bidang milik Adriaan. Dengan perlahan marsih menahan tangannya yang sempat ditarik Adriaan dan berusaha merayu pria asing ini.

"Tuan, sudah ku bilang kalau aku baik-baik saja? Aku sudah lama tidak mengunjungi pasar, bukankah Tuan juga ingin segera mencicipi masakanku?" rayu Marsih, ia mendangak menatap mata Adriaan dengan tatapan sayu.

Pria asing itu menaikkan alisnya, kemudian seutas senyum terpajang di wajah putih itu. Merasa terayu oleh perkataan Marsih pria itu menghela nafas berat.

"Baiklah, Nyai, tapi kau harus tetap dalam pandanganku." pria itu menyetujui permintannya sembari menyentuh dagu Marsih pelan.

Marsih tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Kali ini ia tersenyum dengan tulus, bukan untuk Adriaan tentu saja, tapi untuk kebebasan yang sebentar lagi ia akan kembali rasakan. Ia tak sabar untuk segera melihat wajah sang ibunda yang sudah hampir lebih dari 2 malam ia tidak temui.

𝐌𝐚𝐫𝐬𝐢𝐡 - [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang