Sudah genap dua malam sejak pertemuan tidak sengaja Marsih dengan lelaki berkulit putih itu di pasar malam. Hari-harinya berjalan begitu saja seperti biasa tanpa ada hambatan, dan keadan Jinem yang semakin hari semakin memburuk memaksanya untuk tetap tenang fokus mencari nafkah mencoba melupakan kejadian tempo hari. Namun tetap saja, perjumpaan kala itu tetap menghantui dirinya.
Namun tak dapat ia pungkiri rasa cemas dan gundah masih membayang-bayanginya hingga hari ini. Entah apa yang membuat Marsih merasa setakut itu melihat pria tersebut, mungkin tatapan pekat dan dalam lelaki itu yang terasa menelanjangi serta mengulitinya hidup-hidup, atau ia merasakan sesuatu hal yang tidak ia inginkan akan terjadi pada dirinya jika ia berdekatan dengan pria asing itu. Entahlah, yang pasti Marsih memiliki firasat tidak mengenakkan tentangnya.
Marsih menggotong beberapa karung kecil beras pada punggungnya. Hari ini tampaknya Hotel Simpang membutuhkan beberapa kuli tambahan untuk membawa bahan-bahan makanan dan mengusungnya ke tempat penyimpanan. Peluh keringat yang tak henti-hentinya bercucuran membasahi wajah kusam Marsih, ia membersihkan keringat yang mengganggu itu, mengelap wajahnya kasar dengan lengan baju kusut yang tengah ia kenakan.
Sebuah suara dari organ pencernaan gadis ini mengaum, meminta sebongkah makanan untuk dibakar sebagai sumber energi namun ia tak dapat berhenti sekarang, masih banyak karung-karung yang ia dan para kuli lainnya harus angkat dan pindahkan, lagipula ia tak akan mendapat makanan sampai jam istirahat memanggil. Tidak sengaja mata Marsih tertuju pada Lasmi, perempuan muda itu terlihat sangat kelelahan dengan beban yang tidak seharusnya ia pingkul mengingat umurnya yang masih sangat belia.
Tanpa berfikir panjang Marsih menghampiri Lasmi untuk menggantikannya bekerja, ia memaksa Lasmi untuk istirahat sejenak sementara ia akan menggantikan Lasmi dengan cara membawa karung-karung itu lebih cepat. Lasmi menolak keras, ia jelas tak ingin merepotkan siapa pun dengan keadaannya, tapi tubuhnya yang mulai lemahnya goyah dan hampir jatuh memaksa Marsih untuk membuatnya duduk sejenak.
Marsih mulai membawa karung-karung beras dan beberapa bahan lainnya dengan kecepatan secepat yang ia bisa. Tak berapa lama ia mulai melihat semua bahan makanan telah berhasil ia dan para babu lainnya pindahkan. Kakinya kini nyeri, terasa berkedut-kedut dan sakit. Ia tidak terbiasa membawa barang-barang seberat itu, ia juga tak terbiasa melihat banyaknya bahan makanan hasil tanam para pribumi yang diberikan secara paksa pada cecunguk berkulit putih itu. Kini ia harus membiasakan kedua hal itu terjadi pada hidupnya.
Ia merehatkan tubuhnya dan duduk di sebelah kanan Lasmi. Perempuan muda itu mencoba membalas budi Marsih dengan memijat betis kaki Marsih yang tengah terduduk diam, Marsih menolak namun Lasmi tetap mencoba memijat kakinya yang sekarang tengah sakit.
"Matur nuwun yo, Mbak, lain kali mbak ndak perlu gantiin aku lagi," ucap Lasmi penuh penyesalan mengapa tubuhnya ini begitu lemah.
"Kalau begitu lagi juga ndak apa, selagi aku masih disini yo aku bantu," balas Marsih dengan bijaknya. Lasmi dengan segera memeluk Marsih erat, wanita dihadapannya ini sudah ia anggap sebagai kakak kandungnya.
Lasmi mengangguk-angguk senang, Marsih menuntun tangan Lasmi menuju dapur belakang tempat mereka akan melanjutkan pekerjaannya. Disana sudah ada Mbok Dasa, salah satu teman baru Marsih yang bekerja sebagai babu masak di dapur hotel tersebut. Wanita tua itu memberikan mereka sebuah kain lap dan sebuah ember besi kecil yang mulai berkarat disisi-sisinya, ember yang seperempat penuh itu pun Marsih jinjing di tangan kirinya.
Mereka kemudian berpisah, Lasmi membersihkan lantai bagian tengah hotel yang mulai berdebu, sedangkan Marsih mendapatkan bagian untuk membersihkan sebuah sofa panjang dan meja kayu mahoni di tengahnya. Meja itu memiliki ukiran-ukiran unik khas jawa yang tentu saja membutuhkan ketelitian dalam membersihkan sela-sela ukiran itu.
Entah kebetulan macam apa yang mengikuti keduanya, Adriaan sedang duduk tepat bersebrangan dengan Marsih yang tengah sibuk melakukan pekerjaannya. Adriaan baru saja melakukan pertemuan singkat dengan paman yang sangat dibencinya, pria kolot itu terus memaksanya untuk segera memberikan hak warisan miliknya peninggalan mendiang sang kakek untuk kebutuhan investasi bisnis pabrik gula milik paman serakahnya itu.
Adriaan menghembuskan nafas kesal dan tidak sengaja melihat Marsih yang berada lumayan jauh dari tempatnya duduk. Wanita itu menekuk kedua kakinya dan tampak sangat serius membersihkan kaki-kaki meja. Rasa keingintahuan Adriaan memaksanya mendekati gadis itu, ia ingin memastikan apakah ia adalah gadis yang sama dengan gadis yang ia temui tempo hari. Dan dugaannya tidak salah, kala Marsih sedikit memalingkan wajahnya, disanalah Adriaan tahu betul kalau dia adalah wanita yang dirinya tengah cari.
Marsih terus membersihkan meja hingga sebuah bayangan muncul dibelakangnya menutupi cahaya pengelihatannya. Setelah berbalik, nafasnya terasa tercekat. Mata Marsih membelak terkejut melihat sesosok pria berkulit putih tinggi dibelakangnya, lebih tepatnya sosok si pria arloji yang dia temui saat di pasar malam. Karena kaget, tak sengaja tangan marsih menjatuhkan ember besi kecil berisi air kotor dari tangannya. Terbanting tepat mengenai sepatu pantofel hitam kulit milik Adriaan yang seketika tersiram air berwarna pekat itu. Menyadari bahwa ia melakukan kesalahan besar, marsih segera bangkit dan menunduk serta tak lupa mengucapkan permintaan maafnya.
"Maaf, Meneer! Maaf, Meneer! Maaf!" kalimat itu terus ia ucapkan tanpa henti dengan tubuh yang ia tundukkan.
Gadis ini dengan cepat kembali berlutut, mencoba sebisa mungkin membersihkan sepatu hitam kulit itu dengan lap kotor dan juga ujung lengan kebayanya yang lusuh. Sedangkan Adriaan hanya menatap kepanikan Marsih dengan wajahnya datar tak berekspresi. Marsih yang melihat hal itu semakin gelagapan, bingung apa yang sebaiknya ia lakukan.
Ia memutuskan berlari ke belakang untuk mengambilkan lap baru yang masih bersih untuk membersihkan kekacauan yang telah dirinya buat. Namun Adriaan mengira bahwa gadis ini akan mecoba melarikan diri lagi dari hadapannya. Belum sempat Marsih melangkah jauh, Adriaan sudah memegang lengan atas Marsih untuk menghentikan laju gadis ini. Tubuh Marsih tertarik ke belakang dan bertabrakan dengan tubuh kekar Adriaan.
"Mau pergi kemana kau?!" suasana hatinya kini semakin memburuk sejak pertemuan singkatnya dengan sang paman, sepatu miliknya yang tersiram air kotor, dan gadis dihadapannya ini yang hendak melarikan diri bukannya bertanggung jawab.
"Ke belakang, Meneer untuk ... untuk ... mengambil kain bersih," ucap Marsih terbata-bata, karena jujur saja jantungnya berdetak sangat cepat dan tangannya mulai gemetar karena rasa takut.
"Jangan banyak alasan! Ikut aku!" kata Adriaan tegas dan segera menarik lengan gadis ini, Marsih menolaknya dengan menggelengkan kepalanya dan tidak ingin bergerak serta mengikuti kemana pria ini akan membawanya.
"Ikut atau mati?" ancam Adriaan dengan tatapan mata biru tajamnya yang langsung membuat Marsih lemas dan pasrah mengikuti kemana pria ini akan membawanya.
Marsih sempat melirik ke arah Karso dan Lasmi yang menatapnya dari jauh, Marsih memberikan tatapan memohon permintaan tolong pada keduanya, tetapi ketika Lasmi hendak menghampirinya, Karso menahan tangan Lasmi dan membuatnya tetap diam disampingnya serta tidak ikut campur. Dan Karso baru melepaskan tangan Lasmi ketika melihat Marsih dan pria asing itu pergi menghilang dari pandangan.
.oo0oo.
Sampai jumpa di next chapter 😁💖
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐚𝐫𝐬𝐢𝐡 - [Tamat]
Historical FictionBerkisah tentang seorang gadis bernama Marsih, hidupnya yang sengsara membuat hati Marsih tegar akan segala cobaan yang selalu menerpa hidupnya. Tak terkecuali ketika sang ibu menghembuskan nafas terakhir, ia hanya dapat menguburkan sang ibu dengan...