29. Gamang

2.5K 372 42
                                    

Satu minggu telah berlalu cepat, tak terasa bagaikan angin lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu minggu telah berlalu cepat, tak terasa bagaikan angin lalu. Tidak banyak hal yang terjadi, rakyat masih dalam tahap pemulihan pasca pemberontakan kedua yang terjadi tempo hari. Korban jiwa yang telah Marsih renggut dengan bantuan tangan kanannya Karso berjumlah 9 orang, semuanya lelaki korup kejam tidak tahu diri. Beruntunglah Karso mengikuti saran Marsih untuk tidak melukai perempuan dan anak kecil. Sayangnya, para penjahat itu tetap dapat beristirahat dipenguburan yang layak dan mewah pada tanah yang telah mereka jajah.

Tentu Marsih belum merasa puas dengan ini semua, dendam yang mengembara bebas di hatinya bahkan belum seperempatnya terbalas. Namun kini ia harus bekerja hanya berdua dengan Sugeng, karena Karso menghilang tepat setelah kejadian pemberontakan kedua itu. Tak ada kabar apapun tentang keberadaannya sekarang, tidak bahkan kabar kalau ia masih hidup ataukah sudah mati. Lelaki itu hilang tanpa jejak, tak bersisa sama sekali, seperti lelaki itu tidak pernah ada sebelumnya.

Subuh dini hari, Kota Surabaya belum sepenuhnya terbangun. Embun pagi menetes mengalir membasahi dedaunan. Kabut putih tipis menyelimuti seluruh permukaan bumi yang remang-remang. Berkas cahaya jingga matahari pagi bahkan belum menampakkan sosoknya kala itu, namun Marsih telah terbangun sempurna. Wanita berparas ayu itu merasa tubuhnya terasa ringan setelah beberapa hari dihantui oleh rasa penyesalan yang tiada ujung, dan akhirnya ia dapat memaafkan dirinya sendiri. Beban itu bagai terangkat begitu saja saat mengingat wejangan yanh diberikan mendiang Mbok Kalinem. Jangan berjuang untuk orang mati, berjuanglah untuk mereka yang hidup. Hal itu akan terus terngiang di kepalanya mulai sekarang.

Marsih berjalan perlahan menuju serambi dapur pagi itu, sembari kedua tangannya yang mencoba menggelung asal rambut hitam panjangnya yang semula tergerai, membuatnya menjadi satu buah sanggulan rambut tinggi yang tampak sedikit berantakan. Langkahnya pelan, menapaki lantai marmer yang dingin tanpa alas kaki. Beberapa hari ini dirinya memang sengaja tidak mengenakan alas kaki saat berjalan di dalam rumah, walau Adriaan kerap memarahinya saat dia menangkap basah dirinya bertelanjang kaki di rumah ini. Tapi Marsih tak anggap pusing, menurutnya sendal atau selop hanya akan digunakan saat ia keluar rumah, tidak di dalam rumah. Eman-eman, pikirnya. (Sayang sekali)

Tangannya menyentuh permukaan pintu kayu jati besar ini, perlahan ia mulai mendorong pintu itu ke dalam. Setelah Marsih membuka pintu, tampaklah dapur subuh hari yang selalu sibuk dengan beberapa orang berlalu-lalang mengantar bahan makanan, para pembantu yang memasak menyiapkan sarapan, dan pembantu lain yang mempersiapkan bahan makanan supaya siap pakai. Keadaan riuh kala subuh memang normal dalam rumah ini, berbanding terbalik dengan orang lain yang kemungkinan masih terlelap.

Marsih memang tidak berkewajiban membantu proses memasak. Adriaan beberapa kali mengentikannya untuk berhenti membantu para pembantu memasak dan biarkan mereka menyelesaikan tugasnya. Namun Marsih memang sepertinya perempuan pembangkang, ia tak bisa merasakan masakan orang lain yang dibuat oleh sesama pribumi, merasa segan. Tak enak hati ia dilayani oleh para pembantu pribumi yang menunduk hormat pada Marsih, hanya karena dirinya seorang nyai milik meneer Belanda, padahal dirinya jauh lebih muda dari para pembantu itu. Maka sebagai perempuan yang masih tahu tata krama, Marsih tak bisa tinggal diam dan akan ikut membantu, tak peduli apapun perkataan Adriaan.

𝐌𝐚𝐫𝐬𝐢𝐡 - [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang