30. Temaram Angin Malam

2.4K 384 26
                                    

Happy 40k! 🎉✨
Jangan lupa vote ya!

....


Satu hembusan angin menerpa tengkuk Marsih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu hembusan angin menerpa tengkuk Marsih. Membuat gadis itu bergidig kecil dengan tangan kanan yang segera mencoba meredam rasa geli itu. Derikkan jangrik di kesunyian malam, secangkir teh hangat beruap, dan sebuah lampu petromaks benderang kuning inilah teman Marsih sekarang. Hening terduduk pada kursi rotan anyaman, diam tanpa suara di serambi depan rumah megah dengan sebuah buku di tangan.

Pemadaman listrik terjadi beberapa saat yang lalu, lebih tepatnya dua jam sudah berlalu. Membuat seisi rumah sedikit kalang kabut karenanya. Mulai dari para pembantu yang ribut karena kesulitan menyiapkan bahan makanan untuk esok hari, tukang-tukang yang kehilangan beberapa lampu petromaks yang tentu tidak cukup jika dinyalakan di seluruh rumah, dan para penjaga gerbang rumah yang tidak ingin bekerja sebelum lampu kembali menyala, mereka mengeluhkan munculnya sosok hantu perempuan yang katanya kerap datang ketika gelapnya malam.

Hal itu cukup membuat Marsih tergelak penuh tawa. Bagaimana tidak? Penampilan para penjaga tampak sangat garang. Tubuh penuh otot, tinggi besar, kulit hitam legam, dengan kumis dan jambang yang tumbuh bebas, serta tak lupa sabit yang selalu tergenggam manis di tangan mereka. Dan anehnya, mereka takut dengan sesosok hantu wanita jahat? Satu-satunya wanita yang memiliki pikiran jahat di rumah ini mungkin adalah Marsih, seharusnya Marsih lah yang mereka harus khawatirkan.

Keributan kecil itu rupanya sedikit membuat Marsih jengah, malam harinya kala itu tidak dapat ia nikmati seperti biasa. Dengan santai ia mengambil satu lampu petromaks, membuat secangkir teh, dan membawa sebuah buku berjudul 'Serat Riyanta' karya R. B Soelardi. Menenteng buku tersebut menuju teras depan. Dan disinilah ia berada sekarang, duduk sendiri di keheningan malam, terlarut dalam buku sastra berbahasa Jawa itu.

Kenop berbunyi, menarik pintu kayu putih itu ke dalam. Terbuka secara lambat, lalu tak lama tampaklah sosok Adriaan yang berdiri di ambang pintu. Pria itu tampak bingung, namun sesaat setelah menemukan sosok Marsih, dia terlihat sedikit lega dengan satu hembusan nafas berat. Langkah pria itu menapaki lantai, berjalan menuju Marsih dan duduk di kursi yang berada di sebelah gadis itu.

"Aku mencarimu, Nyai," sahutnya pelan sembari menyandarkan punggungnya pada senderan anyaman.

"Aku tahu kau pasti mencariku. Tenanglah, aku tak akan pergi kemana-mana," balas Marsih. "Tidak untuk saat ini," lanjut wanita itu dalam hati.

"Mereka bising sekali, tak khayal kau melarikan diri kemari." Adriaan melirik Marsih dan buku besar yang berada di pangkuan gadis itu.

Sekarang Marsih tengah menggunakan menggunakan sebuah kebaya biru tua bercorak bunga yang ia tak kancingkan karena gerah hingga menampakkan jelas kemben hitam dan sedikit belahan dada ranum miliknya. Ia juga mengenakan jarik yang pendek hanya sebatas lutut yang menampilkan betis indah jenjangnya mulus. Rambut yang Marsih gelung asal tinggi dengan beberapa anak rambut yang mencuat, memamerkan lehernya yang halus tanpa satu tonjolan urat. Entah disengaja atau tidak, penampakan Marsih malam ini terlihat begitu menggoda dengan cahaya kuning lampu petromaks yang mengenai tubuh gadis itu.

𝐌𝐚𝐫𝐬𝐢𝐡 - [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang