Subuh hari itu masih sunyi, beberapa tetes air menetes jatuh dari dedaunan, kabut menyelimuti Kota Surabaya pagi itu. Jalanan masih becek karena hujan yang turun semalam suntuk. Dan disinilah Marsih tengah menutup kedua telinga dengan kedua tangannya, mencoba menghalau suara tokek yang tak dapat berhenti berkoar sejak beberapa menit yang lalu, memaksa Marsih mau tak mau untuk bangun. Wanita ini bangun dari tidurnya dengan sangat tidak nyaman, kedua alisnya menyatu kesal, diganggu saat terlelap oleh seekor tokek liar yang berada di luar rumahnya.
Marsih mendudukkan tubuhnya pelan. Raut wajahnya masih geram dengan tokek aneh yang seketika berhenti setelah Marsih bangun, sepertinya tokek menyebalkan itu sengaja ingin membangunkan dirinya dengan paksa, kini ia tidak dapat tertidur kembali karenanya. Pandangan Marsih tak sengaja beralih pada sosok Adriaan, lelaki yang masih terlelap pulas dalam posisi tengkurap disampingnya. Tampaknya Adriaan sama sekali tidak terganggu dengan suara tokek itu. Dibuktikan dengan dirinya yang sama sekali tak bergeming mendengar suara hewan itu.
Wajah pria itu begitu damai, layaknya seorang bayi tak berdosa yang tengah beristirahat dari sehari penuh beban. Mengabaikan fakta kalau ia sudah terbukti meracuni Patrick hingga membuat pria itu meninggal. Cara yang menyakitkan mati karena sistem tubuh manusia menolak oksigen sebagai efek samping penggunaan racun sianida dalam dosis besar, setidaknya begitulah yang Marsih baca tentang pengaruh sianida dalam tubuh.
Marsih mendengus pelan, lelaki itu sepertinya sama sekali tak menyesal atas apa yang ia lakukan pada anggota keluarganya sendiri. Tanpa sadar Marsih menatap wajah Adriaan cukup lama hingga membuat pria itu terbangun karena merasa diperhatikan.
"Apakah aku begitu tampan sehingga kau menatapku lama, Nyai?" tukas Adriaan dengan suara parau khas orang bangun tidur.
"Ah anu ... b-bukan begitu," ucapnya terbata, sedikit panik tertangkap basah sedang memperhatikan wajah pria ini dalam.
"Tentu saja, aku tampan, iya bukan?" balas Adriaan disusul dengan gelak tawanya yang renyah karena telah membuat Marsih merona malu.
Marsih tersenyum simpul, "Iya Meneer, kau tampan." memangnya apa yang salah? Gadis ini tak dapat berdusta kalau memanglah benar wajah Adriaan sangat tampan, begitu tampannya hingga para wanita di luar sana iri oleh Marsih.
Sungguh munafik gadis ini, jika dia sama sekali tidak mengakui ketampanan wajah milik Adriaan. Wajah putih bersih dengan mata biru itu sudah cukup untuk membuat wanita manapun tergelak sebentar menyanjung wajah yang hampir sempurna itu. Tapi untuk apa memiliki wajah tampan? Wajah cantik atau tampan tidak akan menutupi dosa besar yang telah ia lakukan. Seperti dosa besar yang lelaki ini lakukan, membunuh.
Tangan Adriaan terulur menyentuh punggung tangan Marsih, mencoba menggenggamnya erat dalam tangannya. Dingin, itu hal yang pertama Adriaan rasakan saat menyentuh tangan wanita ini. "Kau juga cantik, salah satu wanita tercantik yang pernah kutemui," pujinya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐚𝐫𝐬𝐢𝐡 - [Tamat]
Historical FictionBerkisah tentang seorang gadis bernama Marsih, hidupnya yang sengsara membuat hati Marsih tegar akan segala cobaan yang selalu menerpa hidupnya. Tak terkecuali ketika sang ibu menghembuskan nafas terakhir, ia hanya dapat menguburkan sang ibu dengan...