Saya masih UTS minggu depan 😭 jadi maaf kalo ga update teratur ya! Diusahain kok 😎
.....
Darmi mengetuk pintu kamar milik Marsih pelan, ini sudah kesekian kalinya dia mencoba untuk mengetuk pintu kayu itu sembari memanggil-manggil nama Marsih berkali-kali. Tapi tetap tak ada jawaban apapun dari sana. Darmi menengok ke arah Mbok Kalinem yang memegang sebuah kunci cadangan, mereka bertatapan sesaat. Mereka sebelumnya telah sepakat, jika ketukan terakhir ini tidak dijawab, ia dan Mbok Kalinem akan memaksa masuk dengan kunci cadangan ini. Hanya untuk memastikan bahwa Marsih masih hidup dan baik-baik saja.
Matahari sudah mulai naik dan menyombongkan sinarnya, burung telah berkicau kesana kemari menyambut pagi datang. Namun Marsih tetap menggelung dirinya digulungan selimut, mencoba menutupi seluruh tubuhnya yang penuh tanda pergumulan. Gadis itu tak menangis lagi, air mata seakan sudah lelah setelah turun semalaman suntuk. Ia tak ingin meninggalkan gelungan selimut ini, dirinya merasa malu, hina, dan kotor setelah kejadian semalam. Jiwanya seakan ingin meninggalkan raga ini sesegera mungkin.
Suara lubang kunci yang tengah terputar terdengar di telinga Marsih. Tak lama grendel pintu terbuka, menampakkan Darmi yang membawa baskom besar berisi air hangat dan sebuah handuk, serta Mbok Kalinem yang membawa sebuah kebaya putih gading dan sebuah jarik. Darmi, gadis itu mulai mendekati Marsih perlahan. Ia melihat Marsih dengan keadaan yang menyedihkan. Tatapan gadis itu kosong, bagai sebuah patung porselen cantik yang hanya bisa terdiam membisu.
"Mbak ...," panggil Darmi halus, ia menaruh baskom dan handuk itu di nakas dan mencoba menyentuh Marsih pelan. "Mbak ... ayo mandi dulu, aku lap sini pakai air hangat, ndak akan dingin kok," lanjutnya sembari menepuk punggung Marsih yang masih terbalut selimut tebal untuk merayunya agar bangkit.
Tak ada jawaban, wanita itu masih dengan tatapan kosong miliknya. Entah apa yang ia kini tengah pikirkan, Darmi tak mengerti. Ia memutuskan untuk tetap mencoba membujuk Marsih agar mau bangun dari tempat tidurnya.
"Mbak ... dibersihkan dulu badanmu itu, cantik-cantik kok ndak mau mandi," ajak Darmi lagi, kali ini ia mulai mencoba untuk membuka selimut namun Darmi segera ditahan oleh Marsih yang menggenggam tangannya cepat.
"Buat apa cantik, kalau ujung-ujungnya aku sama saja seperti para pelacur lain." akhirnya Marsih membuka suara. Ia menatap Darmi dengan tatapan sayu miliknya.
"Jangan bilang begitu, Mbak--"
"Ndak punya harga diri, kalau punya juga ... kata mereka derajat laki-laki lebih tinggi, mereka bisa seenaknya menginjak-injak harga diri wanita," potong Marsih saat Darmi bahkan belum menyelesaikan kata-katanya. "Apalagi kaum berkulit putih kayak mereka. Aku yang gadis anak penjual onde-onde bisa apa?" lanjutnya lirih.
Suasana hening setelah Marsih mengatakan hal itu. Darmi tidak tahu harus mengatakan apa, karena yang dikatakan oleh Marsih barusan membuatnya terdiam seribu bahasa. Tak ingin menyakiti perasaan gadis itu lagi, Darmi melirik ke arah Mbok Kalinem, mencoba mencari pertolongan atas apa yang akan mereka lakukan untuk membujuk Marsih agar kembali seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐚𝐫𝐬𝐢𝐡 - [Tamat]
Historical FictionBerkisah tentang seorang gadis bernama Marsih, hidupnya yang sengsara membuat hati Marsih tegar akan segala cobaan yang selalu menerpa hidupnya. Tak terkecuali ketika sang ibu menghembuskan nafas terakhir, ia hanya dapat menguburkan sang ibu dengan...