08. Kebaya atau Gaun

5.5K 745 92
                                    

HAI! aku up lagi nih! btw aku nulis cerita bergenre sama juga loh dievent Blackpandora_Club disana aku jadi satu karakter bernama Sujilah! jangan lupa dicek yaaa dijamin ga kalah seruuu... so selamat membaca!

....


Pagi belum sepenuhnya bercahaya, memamerkan gradiasi warnanya yang apik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi belum sepenuhnya bercahaya, memamerkan gradiasi warnanya yang apik. Embun masih menyelimuti bumi. Namun Marsih telah terbangun dari tidurnya yang pegal, ia mendudukkan diri sembari mengingat kejadian kemarin malam, rupanya dia tertidur pulas di lantai setelah lelah menangis semalaman suntuk. Tangannya meraba dan mencoba membuka kenop pintu yang ternyata pintu itu sudah tidak dalam keadaan terkunci lagi.

Marsih memegangi kenop laly membuka pintu perlahan, bersamaan dengan dirinya yang mulai berdiri, ia berjalan lambat menapaki lantai keluar kamar. Kemudian mendapati Adriaan tengah duduk di sebuah bangku dengan sebuah koran ditangannya, tak lupa secangkir teh hangat yang masih beruap di sisi kanan meja. Adriaan menyadari keberadaan Marsih dan segera bangkit dari duduknya.

"Kau tertidur lama sekali, aku sudah lapar," keluh Adriaan dan berjalan cepat meninggalkan Marsih di belakangnya.

Marsih hanya mengikuti kemana langah pria ini akan pergi. Adriaan membawanya kembali ke meja makan itu dan mulai duduk di bangku yang sama seperti semalam. Gadis ini juga mengikuti apa yang dilakukan Adriaan dengan duduk di bangku yang sama pula.

Harum kaldu menyeruak ke seluruh ruangan ketika seorang pembantu datang membawa sebuah nampan berisi dua buah mangkuk besar sup ayam dan sayuran. Sebenarnya Marsih tidak terlalu lapar, perutnya masih kenyang sisa makanan semalam, atau mungkin karena lambungnya sudah terbiasa untuk makan hanya sekali sehari dan kini ia harus membiasakan diri untuk makan tiga kali sehari.

Mereka mulai memakan sup itu dalam hening, hanya ada suara dentingan alat makan menyentuh mangkuk. Sesekali Marsih menatap lelaki dihadapannya ini, menatap betapa angkuhnya wajah pria dengan mata biru itu. Garis muka yang tegas, tulang rahang yang tajam, bibir berwarna merah muda, dan sepasang alis kecoklatan. Boleh diakui kalau pria ini memang tampan, parasnya nyaris hampir tak ada kecacatan.

"Namaku Adriaan Van Hoëvell," kata lelaki asing itu menyebutkan sebuah nama.

Marsih mendongak dan menatap pria yang bernama Adriaan tersebut. Mereka bertatapan sebentar, selama beberapa detik, sedangkan suasana masih hening.

"Aku Marsih, Meneer," balas Marsih pelan.

"Berapa umurmu?" tanyanya sembari mulai menghabiskan sarapan paginya.

"Enam belas tahun, Meneer," jawabnya lagi.

Adriaan menganggukkan kepalanya. "Persiapkan dirimu, mandi dan gantilah pakaianmu itu," ucap Adriaan.

Lelaki yang telah menghabiskan makanannya itu berjalan menjauhi area makan, lagi-lagi pria itu meninggalkan Marsih sendirian, tanpa ada petunjuk akan kemana dan melakukan apa. Marsih masih terdiam di meja makan itu, memikirkan ibunya yang kini entah bagaimana kondisinya, apakah akan baik-baik saja? Atau sang ibu sedang kesakitan saat ini? Dirinya terus melamunkan keadaan Jinem hingga seorang pembantu datang dan menyadarkannya.

𝐌𝐚𝐫𝐬𝐢𝐡 - [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang