"Marsih, kau sedang apa?" hari Karso diawali dengan Marsih yang menatap kosong dan seakan mengabaikan pekerjaan yang tengah ia lakukan saat ini.
Lamunannya segera saja buyar dan dengan sigap menoleh ke arah Karso yang menatapnya bingung. Tak dapat dipungkiri mengapa ia berkelakuan seperti ini. Kejadian hari itu dimana ia salah membuka ruangan, masih melekat jelas pada ingatan Marsih ditambah dengan keadaan sang ibu yang semakin mengganggunya hingga saat ini.
"Ngapunten, Kang," jawab Marsih sopan dengan kepala menunduk dalam rangka penyesalan atas kelalaiannya dalam bekerja.
(Maaf)
Marsih harus kembali belajar tentang memfokuskan diri semenjak kepalanya terus memikirkan kejadian salah ruangan tempo hari, dirinya tak mungkin akan selalu melamun tentang hal-hal yang tidak seharusnya ia pikirkan. Bagaimana ia akan membuat ibunya kembali sehatlah yang seharusnya ia pikirkan saat ini.
Ia mulai membersihkan beberapa noda kopi yang mengering pada meja marmer di hadapannya, kemudian ia meletakkan cangkir-cangkir ke sebuah nampan yang ia genggam di tangan kirinya, sampai ia menyadari sebuah arloji berwarna emas tergeletak manis di sudut sebuah sofa kecil, arloji itu berada tepat dibelakang meja marmer yang tengah ia bersihkan.
Gadis ini mendekati sofa tersebut dengan tatapan bingung dan mulai mengambil arloji emas itu hati-hati, takut kalau tangannya dapat merusak jam yang terlihat mahal ini. Marsih bisa saja mengambil arloji emas tersebut dan menjualnya untuk kebutuhan ibunya serta dirinya sendiri mengingat arloji ini terlihat sangat mahal dengan ornamen-ornamen berlian kecil di dalamnya, namun sebagai seorang wanita Jawa yang dibesarkan sarat dengan kejujuran, apakah mungkin Marsih dapat hidup tenang tanpa rasa bersalah dengan mengambil barang orang lain dan menggunakannya untuk kepentingan pribadi? Ia meragukan hal itu.
Ia menggelengkan kepalanya keras, mencoba untuk menghilangkan pikiran negatif yang mulai merayapi kepalanya. Hanya efek lapar, itulah alasan yang membuat Marsih coba berikan kepada batinnya atas pikiran jahatnya tersebut. Mengingat ia belum memakan apapun sejak kemarin, memaksanya menjadikan alasan tersebut atas pikiran tidak beradapnya itu.
Setelah menyadarkan diri, Marsih berniat untuk mengembalikan arloji emas itu ke tempat asalnya. Bertepatan ketika Marsih ingin meletakkan arloji itu kembali kepada sudut ketika ia pertama kali melihatnya, sebuah suara berat mengejutkan gadis ini bukan kepalang.
"Hey, zie je een horloge?" tanya sebuah suara berat dan tegas yang berada tepat di belakangnya. Hal ini tentu mengejutkan Marsih yang mengira bahwa ia tengah sendirian.
(Hey, apakah kau melihat sebuah arloji?)
Marsih seketika menoleh dan hampir saja menjatuhkan nampan yang berada di tangan kirinya. Tepat dihadapannya, berdiri seorang pria asing yang berbadan tinggi semampai, berkulit putih, berbadan kekar, dengan rambut pirang keemasan berkilau serta mata biru laut menatapnya bingung. Ia mengenakan sebuah jas hitam dengan kemeja putih di dalamnya lengkap dengan sebuah celana sutra hitam dan sepasang sepatu pantofel mengkilap yang tampak selaras dengan jasnya tersebut. Dengan penampilannya ini sudah memberi semua orang sinyal bahwa pria dihadapannya bukanlah seorang pria asing semata.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐚𝐫𝐬𝐢𝐡 - [Tamat]
Historical FictionBerkisah tentang seorang gadis bernama Marsih, hidupnya yang sengsara membuat hati Marsih tegar akan segala cobaan yang selalu menerpa hidupnya. Tak terkecuali ketika sang ibu menghembuskan nafas terakhir, ia hanya dapat menguburkan sang ibu dengan...