Peringatan! Akan ada beberapa kata yang kurang enak dibaca/didengar Jika merasa kurang nyaman, sangat disarankan untuk tidak lanjut membaca.
......
Nafas Marsih tersengal-sengal saat ini, jantungnya mempompa darah jauh lebih cepat. Rasa semangat membakar semua energinya. Ia kini tengah berlari menuju gubuk tempat tinggalnya, hatinya senang tak bukan main. Ini pertama kalinya ia merasa sangat senang kembali ke gubuk kumuh tua itu.
Marsih ingat saat dirinya kecil dahulu, ia sering bermain dan berlari dengan semangat menuju gubuk sehabis seharian membantu ibunya menjadi pembantu, semangat yang sama seperti apa yang ia tengah lakukan sekarang.
Kerinduan akan sosok wanita tercintanya membuatnya tersenyum sepanjang perjalanan. Kakinya terus berlari menyusuri area perumahan kumuh yang kini ia sudah masuki.
Kini ia telah sampai di depan pintu rumah, jantungnya berdebar membayangkan akan memeluk tubuh hangat ibunya dan mencetitakan apa yang telah terjadi pada dirinya selama 2 hari ini.
Marsih membuka grendel pintu gubuk dan segera meringsek masuk. Tubuhnya melambat, langkah kakinya mulai berhenti perlahan-lahan. Ia dapat melihat sosok sang ibu yang tengah tertidur damai dalam kasur. Seutas senyum terulas di wajah Marsih. Ia berjalan mendekati sang ibu dan mulai memanggil-manggil namanya.
"Mbok... Marsih wis mulih," ujarnya parau.
Marsih berhenti, ada yang tidak beres dengan keadaan sang ibu. Kenapa wajahnya begitu pucat? Memang Jinem sedang sakit keras namun ia tak pernah melihat ibunya sepucat ini. Dan.. Kenapa tubuh ibunya itu membiru? Firasat buruk segera merasuki dirinya.
Gadis ini berjalan semakin cepat mendekati ibunya. Merasakan kejanggalan yang terjadi pada wanita yang telah melahirkannya itu. Ia mulai menyentuh kening ibunya, dingin. Sedingun menyentuh permukaan besi yang didiamkan di tempat terbuka.
Raut wajah Marsih berubah total, ia segera menepuk-nepuk wajah ibunya pelan. Mencoba membangunkannya dari ketidaksadaran diri. Tak ada respon, Marsih lalu memanggil-manggil nama ibunya, berharap ia akan membuka mata.
Setetes air mata kekhawatiran mulai mengalir di pipi halus Marsih, ia mengecek aliran nafas ibunya tapi nihil, tak ada deru atau hembusan nafas sama sekali. Kini ia yakin, bahwa ibunya telah pergi, kali ini untuk selamanya.
Tubuh Marsih ambuk, jatuh ke lantai tanah bersamaan dengan laju air mata yang mulai deras membasahi wajahnya. Jamtungnya terasa dibawa ketempat yang tinggi dan dijatuhkan jauh ke inti bumi, pikirannya kacau. Deru nafas Marsih melambat, otaknya tak dapat berfikir jernih saat menatap jenazah ibunya yang hampir kaku. Ketakutannya selama ini menjadi kenyataan, kematian sang ibu telah tiba. Dan parahnya, ia tidak ada disana saat malaikat pencabut nyawa datang.
Marsih bangkit dari keterkejutan tubuhnya. Ia mendekati mayat Jinem dan mulai kembali menepuk-nepuk pipi wanita itu. Ia juga terus memanggil-manggil nama sang ibu, mengulangnya ratusan kali. Marsih memeluk jasad dingin ibunya itu. Ia terus melakukan usaha yang ia sendiri sudah tahu sia-sia, dengan harapan bahwa ibunya itu akan terbangun dan memeluknya serta berkata kalau itu semua hanya mimpi buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐚𝐫𝐬𝐢𝐡 - [Tamat]
Historical FictionBerkisah tentang seorang gadis bernama Marsih, hidupnya yang sengsara membuat hati Marsih tegar akan segala cobaan yang selalu menerpa hidupnya. Tak terkecuali ketika sang ibu menghembuskan nafas terakhir, ia hanya dapat menguburkan sang ibu dengan...