"Kau suka bubur?" tanya Adriaan pada Marsih. Saat ini mereka berada di ruang makan sedang menunggu sarapan mereka disajikan.
Marsih mengangguk cepat, "Aku suka semua makanan, Tuan," ucapnya berterus terang. Tentu saja ia menyukai segala makanan, ketika ia dapat memakan sesuatu saja dirinya sudah merasa sungguh bersyukur untuk itu. Bagaimana mungkin ia dapat menjadi pemilih dalam memakan sesuatu?
Darmi masuk perlahan ke area makan dengan membawa sebuah nampan makanan. Di dalamnya terdapat dua buah mangkuk berisi bubur berwarna putih pucat yang masih berasap. Ia meletakkan sebuah mangkuk di depan Marsih, mereka bertatapan sesaat. Dalam tatapannya Darmi terlihat begitu bersyukur bahwa Marsih masih hidup dan tidak terluka banyak. Karena pasca sekembalinya Marsih dari pasar dengan keadaan yang menyedihkan, Darmi dan Mbok Kalinem lah yang merawatnya saat ia tak sadarkan diri.
Adriaan tak menyentuh makanannya, ia malah menatap Marsih dalam, ia tak mengatakan apapun dan hanya terus menatap Marsih yang tengah menyantap sarapan miliknya. Jujur dalam hati Adriaan kini tengah mengagumi wajah sempurna bak malaikat di hadapannya ini, namun ia tidak bisa memuji Marsih dan masih menikmati memperhatikan wanita itu diam-diam.
"Kenapa Tuan? Ada yang salah?" tanya Marsih sedikit risih, ditatap terus menerus selama beberapa menit membuatnya jengah dan memutuskan untuk bertanya pada pria itu apa maksud dirinya melakukan hal tersebut.
"Ah, kau sadar rupanya," tutur Adriaan pelan, ia menyilangkan tangannya di dada dan menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Bagaimana bisa aku tidak sadar, kau menatapku seakan ingin memakanku hidup-hidup." Marsih mengendikkan bahunya kecil, pertanda ia tidak mengerti apa yang pria itu lakukan.
"Kau kan, masih sakit."
Marsih terhenyak. "Lalu mengapa jika aku masih sakit?"
"Aku tak bisa 'memakanmu' dulu, kau orang sakit," cetus Adriaan. Satu alisnya naik setelah ia mengatakan hal itu, menandakan gurauan dengan maksud tertentu.
Marsih tertawa renyah mendengar candaan dewasa Adriaan, wajahnya sedikit memerah malu akibat hal itu. Seutas senyum terulas di wajah Adriaan karena sukses telah membuat wanita yang ia sukai tersenyum, bahkan tertawa kecil.
"Kalau begitu aku tak ingin sembuh. Akan menyakitkan jika seseorang memakanku hidup-hidup." gadis itu menggelengkan kepalanya pelan, enggan akan racauan aneh Adriaan tadi.
Adriaan tertawa, "Tidak, Nyai, kau pasti akan menyukainya nanti," ujarnya kembali dengan senyuman.
Marsih hanya menganggukkan kepalanya, ia tak sepenuhnya mengerti namun ia paham apa yang pria itu maksud. Sarapan miliknya kini telah sepenuhnya habis, semangkuk bubur yang begitu enak, semua pasti buatan Mbok Kalinem. Adriaan hanya memakan beberapa sendok dan meninggalkan sisa makanan yang begitu banyak.
"Aku akan pergi setelah ini," ujar Adriaan.
"Pergi kemana, Tuan?" tanya Marsih hanya sekedar basa basi.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐚𝐫𝐬𝐢𝐡 - [Tamat]
Historical FictionBerkisah tentang seorang gadis bernama Marsih, hidupnya yang sengsara membuat hati Marsih tegar akan segala cobaan yang selalu menerpa hidupnya. Tak terkecuali ketika sang ibu menghembuskan nafas terakhir, ia hanya dapat menguburkan sang ibu dengan...