"Nyai, Patrick pamanku telah meninggal. Semalam Alysia mengirimkan surat lewat seekor merpati," ucap Adriaan berat membuka percakapan mereka pagi itu.
Mereka berada di meja makan saat ini, seperti biasa bercakap sembari menunggu makanan untuk disajikan. Marsih hanya terdiam dan sedikit tertegun mendengar kabar duka itu, ternyata kematian Patrick benar terjadi, dan perkataan Adriaan tempo hari bukanlah sebuah omong kosong. Sungguh pria di depannya ini adalah pria yang berbahaya.
"Bagaimana dengan pernikahan Alysia? Acara pemakaman akan membuat pernikahannya tertunda bukan?" tanya Marsih penasaran dengan spontan. Ia seketika tersadar atas hal yang ia tanyakan bukanlah hal yang sopan pada orang yang tengah berduka, "Ah, maaf Tuan ... aku tidak bermaksud," lanjutnya dengan penyesalan.
"Tidak apa, kau pasti tidak sengaja mengatakan hal itu. Pernikahan adikku tidak akan diundur, semua sudah disiapkan. Mereka akan menikah setelah prosesi pemakaman."
"Aku ... aku turut berduka untuk itu, tuan," balas Marsih sayu, ia berusaha menunjukkan simpati pada Patrick walau dia pernah menghinanya. Bagaimana pun ia juga seorang manusia, dan Marsih paham betul bagaimana rasanya kehilangan sosok yang ia cintai.
"Terima kasih, Nyai. Kau mau datang ke pemakamannya?" tanya Adriaan pada Marsih. Wajah pria itu nampak datar, tak ada satu ekspresi dan emosi dari pancaran matanya.
"Ah, aku takut kalau aku menganggu proses pemakaman Tuan, aku di sini saja bersama Darmi dan Mbok Kalinem," tolak Marsih pelan, sebenarnya ia tidak ingin ikut karena takut akan apa yang akan ia lihat nanti disana.
"Datanglah bersamaku Nyai, dampingi aku disana," ajak Adriaan sembari menatap mata Marsih dalam. Marsih tak menemukan emosi di tatapan Adriaan, hanya sebuah pandangan kosong yang seakan merasuki jiwanya. Entah ia kalut dalam relung kesedihan atau ia memang tidak merasakan sedih sama sekali, Marsih tak bisa membedakannya.
Marsih tak menjawab. Ia sudah tahu kalau Adriaan telah memintanya, ia tak lagi memiliki hak untuk berdalih atau bahkan menolak. Perempuan itu lalu mengangguk pasrah sebagai persetujuan akan kehadirannya dalam pemakaman Patrick. Mungkin memang Adriaan membutuhkan seseorang untuk menemaninya saat ini.
Darmi memasuki ruangan makan membawa sebuah nampan dan memecah keheningan mereka. Seketika wangi aroma panggangan roti tercium semerbak ke seluruh ruangan. Kali ini Darmi membawa nampan berisi ontbijtkoek, kue bolu dengan bahan dasar gandum hitam yang kaya akan rempah, diatas ontbijtkoek terdapat mentega yang masih meleleh karena uap panas dari kue tersebut. Di nampan itu juga terdapat secangkir kopi hitam pekat dan secangkir teh darjeeling.
"Maaf Nyai, tak ada bubur hari ini. Aku hanya ingin menikmati sarapan yang ringan," ungkap Adriaan.
"Tidak apa Tuan, sudah ku bilang aku menyukai semua jenis makanan, ini sudah lebih dari cukup."
Keheningan kembali menyapa mereka. Adriaan sibuk menyeruput kopi hitamnya, sedangkan Marsih dengan teh serta pikirannya yang melayang entah kemana. Gadis ini mulai memakan ontbijtkoek dalam diam, lubuk hatinya ingin mengajak pria itu berbicara namun badannya enggan melakukannya. Dan disinilah kedua insan dalam sunyi dengan tatapan kosong dan pikiran kalut masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐚𝐫𝐬𝐢𝐡 - [Tamat]
Historical FictionBerkisah tentang seorang gadis bernama Marsih, hidupnya yang sengsara membuat hati Marsih tegar akan segala cobaan yang selalu menerpa hidupnya. Tak terkecuali ketika sang ibu menghembuskan nafas terakhir, ia hanya dapat menguburkan sang ibu dengan...