01. Suatu Malam Di Surabaya

15.3K 1K 77
                                    

Marsih boleh tidak bersekolah, tidak tahu apa itu perkalian, tidak tahu dimana letak pasti Kota Batavia, apalagi tentang kesetaraan gender

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Marsih boleh tidak bersekolah, tidak tahu apa itu perkalian, tidak tahu dimana letak pasti Kota Batavia, apalagi tentang kesetaraan gender. Tapi ia tidak cukup bodoh untuk mengetahui maksud bejat pria bernama Sugeng ini saat pria berkumis itu menatap ke arah buah dadanya dengan tatapan menjijikan seorang bajingan. Hembusan nafasnya terasa panas mengenai leher jengan Marsih. Dirinya paham betul kalau lelaki ini menginginkan tubuhnya.

Ia mencoba sabar dan menahan emosi yang sudah hampir meledak ketika Sugeng tiba-tiba meremas bokong sintalnya kuat, meremasnya kencang hingga membuat wanita ini tersentak. Dengan perlahan ia bergerak menjauhi Sugeng yang sudah bergelak nafsu padanya. Ketika dirinya melihat satu celah kesempatan baik untuk kabur, Marsih menyelinap cepat lalu berlari dan terus berlari hingga Sugeng menyadarinya dan memaki gadis malang itu.

"Ingat Marsih! Hutang Ibumu sama sekali belum lunas padaku! Kecuali kau bersedia ku kawini!" teriak Sugeng kemudian disusul dengan gelak tawa besarya yang mengerikan.

Gadis itu berlari sekuat tenaga dan tak akan melihat kebelakang. Sugeng bajingan! Dia sengaja melakukan ini pada Marsih dan Ibunya. Demi Tuhan! Hutang awalnya hanya 1 gulden, tapi Sugeng membuatnya semakin membesar dengan bunga yang lelaki itu berikan dengan biadapnya. Apa yang dapat dilakukan seorang penjual onde-onde miskin penyakitan dan anak gadisnya yang bahkan baru akhil balik?

Marsih mulai dapat berjalan dengan ritme normal ketika menyadari ia sudah cukup jauh berlari dari kerumunan Sugeng dan teman-teman premannya. Tanpa alas kaki apapun, ia dapat merasakan semua permukaan batu kerikil tajam di kakinya yang sakit, perih, dan ngilu ketika menapak di tanah. Dengan penderitaan di kakinya itu, ia berjalan terseok-seok melewati jalanan Kota Surabaya yang becek oleh hujan dan berbau.

Dirinya sudah tak peduli apapun, ia butuh uang! Iya uang, uang yang banyak untuk mengobati ibunya yang tengah sakit keras. Tapi apalah daya jika hutangnya pada Sugeng saja belum lunas? Apakah ia harus menikah dengan Sugeng? Marsih menggeleng mantap. Tidak! Ia lebih memilih mati daripada menikah dengan preman bajingan mesum macam Sugeng!

Pandangan gadis ini melihat ke arah sebuah gubuk tua yang ia dan Ibunya sebut 'rumah'. Dia membuka kunci pintu yang terbuat dari lilitan jerami hingga membentuk tali simpul yang dapat diselipkan untuk mengunci pintu itu. Pintu sederhana yang bahkan hanya terbuat dari papan tipis yang jika tertiup angin pun dapat roboh kapan saja. Marsih memegang gagang kenop pintu yang berbahan kayu kecil dan mendorongnya pelan.

"Mbok, Marsih wis mulih," ucap Marsih sayu, matanya melihat sang ibunda tergeletak lemah di ranjang kayu tanpa kasur tersebut.

Jinem tidak menjawab putrinya, ralat, perempuan tua itu tidak bisa menjawab putrinya, ia hanya dapat tersenyum kecil sebagai respon rasa syukurnya ketika melihat putri semata wayangnya kembali dengan selamat setelah kembali dari pasar.

"Marsih tumbas beras, Mbok, ditukar dengan tusuk konde terakhirku." Marsih mengeluarkan sekantung kecil beras dari selipan buah dadanya.

Mendengar hal itu hati Jinem terasa dipukul dengan godam yang sangat besar, merasa sakit kala sang anak mengatakan itu. Ibu mana yang tak akan sedih melihat putrinya kini tak memiliki apapun untuk merias diri. Bagaimana pun Marsih masih sangat belia, sedang dalam fase-fasenya untuk mencari calon suami dan hidup bahagia. Namun apa sekarang? Ia bahkan tak memiliki apapun lagi untuk merias diri atau bahkan tampil layak di hadapan lelaki.

𝐌𝐚𝐫𝐬𝐢𝐡 - [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang