"Tak perlu meminta tolong, semua orang telah pergi dari sini," seru Marsih.
Sesaat sebelum ia membuatkan Adriaan segelas sirup. Ia telah meyakinkan semua pembantu untuk pergi dari sini, susah memang pada awalnya meyakinkan mereka, tapi pada akhirnya mereka menurut saja. Begitu juga dengan Darmi, Marsih telah mengirimnya menuju tempat yang aman. Setidaknya aman dari jangkauan baik dari Adriaan maupun pihak Jepang.
Marsih memajukan diri, mendekatkan paras ayu miliknya pada wajah Adriaan. Hembusan nafas pasrah pelan lelaki itu telah menjadi alasan mengapa kini Marsih mengembangkan satu senyuman panjang di bibir tipisnya. Desiran darah yang menggebu-gebu mulai bergejolak dalam tubuh Marsih. Mengalirkan darah ke seluruh anggota badannya dengan penuh semangat. Semangat pembalasan dendam.
Wanita dengan kebaya kuning ini menjauhkan kembali kepalanya. Ia melipat kedua tangan puas di dada, senyum yang tak lagi dapat ia kuasai perlahan berubah menjadi kekehan kecil, lalu berubah lagi jadi gelak tawa kencang. Sebuah tawa tulus melengking yang keluar dari pita suara Marsih, tawa penuh rasa kebahagiaan yang entah kenapa malah terdengar sedikit mengerikan. Inilah saat yang dirinya tunggu-tunggu, membuat Adriaan yang dingin, kasar, dan kejam ini tak berdaya di kuasanya dalam pengaruh obat yang tadi ia masukkan ke dalam segelas sirup.
Tawa manis itu terhenti. Raut wajah Marsih berubah cepat, senyumannya telah hilang sepenuhnya, ia mendekati Adriaan lagi, berjalan dengan sangat lambat yang membuat setiap derap langkahnya terlihat begitu mencekam. Marsih sampai tepat di depan Adriaan, perempuan Jawa ini mengangkat tangan kanannya tinggi, lalu secara cepat telapak tangannya bergerak kencang menampar wajah Adriaan yang membatu tak bisa bergerak atau bahkan membuat ekspresi wajah. Satu tamparan telah melayang di muka dingin pria ini, tamparan yang sedikit melepaskan beban yang Marsih pikul. Berkas kemerahan mulai terlihat menjalari kulit putih bersih pada wajah Adriaan.
"Itu untuk tamparan yang kau berikan pada malam itu. Malam ketika kau renggut paksa keperawananku," kata Marsih datar.
Tangannya kembali terangkat, tamparan kedua ia layangkan kencang. Tak kalah kuat, kali ini ayunan tangannya mendarat pada pipi kiri Adriaan. Rasa panas mulai dirasakan Adriaan merayap perlahan-lahan, obat yang Marsih beri ini memang dapat membuat seseorang kaku tak berdaya, tapi mereka akan tetap merasakan rasa sakit. Hal ini dimanfaatkan Marsih sebaik mungkin, menyiksa batin Adriaan perlahan hingga akhirnya pria itu menyerah nantinya.
"Itu untuk rakyat yang kau lukai dan hidup penuh tekanan akibat ancaman pembakaran pasar yang kau buat."
Lalu tak butuh waktu lama tangan gadis ini kembali teracung. Dan tamparan ketiga pun tak dapat dihindari. Sasarannya kali ini kembali di pipi kanan Adriaan.
"Itu untuk ... Mbok Kalinem yang telah kau bunuh. Kau merasa sangat berkuasa hari itu. Apa kau merasa berkuasa juga sekarang?" ejeknya sambil mendengus.
Ketiga tamparan yang ia layangkan telah sukses membuat wajah pria ini yang semula putih bersih menjadi memiliki berkas kemerah-merahan. Marsih telah berhasil melukai harga diri Adriaan, ditandai dengan tatapan membunuh pria ini yang seakan ingin menusuk tajam menuju jiwa Marsih. Tapi memang hal inilah yang dirinya inginkan, membuat Adriaan merasa malu dan terinjak-injak oleh gundik yang dirinya sendiri culik. Merasakan penderitaan batin yang selama ini Marsih rasakan saat tinggal bersama lelaki ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐚𝐫𝐬𝐢𝐡 - [Tamat]
Historical FictionBerkisah tentang seorang gadis bernama Marsih, hidupnya yang sengsara membuat hati Marsih tegar akan segala cobaan yang selalu menerpa hidupnya. Tak terkecuali ketika sang ibu menghembuskan nafas terakhir, ia hanya dapat menguburkan sang ibu dengan...