Keringat mengucur pelan dari dahi, tubuh yang kaku tak dapat digerakkan. Jantung berdegup kencang memompa darah dengan ritme yang sangat cepat, alunan nafas menaik tinggi menyamakan alur deru jantung yang tergesa-gesa, dengan berat ia menelan ludah yang entah mengapa terasa sangat keras. Dan matanya yang perlahan melirik ke arah satu buah tiket perjalanan menggunakan sebuah kapal mewah.
Adriaan, lelaki itu pasti ingin kabur kembali ke Netherland. Melarikan diri karena mereka semua telah mendengar kabar yang sama, yaitu Jepang datang dan menyisir rumah-rumah pejabat tinggi Belanda, mengobrak-abriknya dan mengambil semua harta benda dan kepemilikan pihak Belanda. Marsih tersenyum miris, membayangkan Adriaan yang kini pasti tengah panik, pacuan jantungnya masih kencang, amarah meledak-ledak bagai letupan kembang api. Ia akan membalaskan dendamnya sekarang.
Siapa yang bilang lelaki itu dapat pulang ke negara asalnya? Marsih tak akan membiarkan hal itu terjadi, tidak sebelum Adriaan merasakan apa itu penderitaan yang sebenarnya. Marsih berjingkat, ia beranjak dari tempatnya saat ini, berusaha berjalan mencari keberadaan pria itu yang ia duga tengah berada di dalam kamar. Saat ia menapaki tangga menuju lantai atas, Darmi mendatanginya tiba-tiba dengan berlari kecil, raut wajah Darmi nampak begitu panik tapi tidak terlihat ketakutan disana. Hanya tergambar sebuah wajah hambar yang terburu-buru menghampirinya dengan peluh yang terus menetes.
"Nyai! Nyai!" teriak Darmi kencang dari belakang yang segera membuat Marsih segera menghentikan langkahnya, dan turun kembali menghampiri Darmi.
"Ada apa? Perlahan saja, atur nafasmu terlebih dahulu, Dar." Marsih menepuk-nepuk tangannya pada punggung Darmi, membantunya untuk bernafas lebih leluasa.
"Mereka ... mereka melakukan pemberontakan ketiga di pasar! Mengerikan sekali, banyak yang menjadi korban," ujar Darmi penuh alunan nafas tersendat-sendat. "Lalu ... katanya Kang Karso kembali," bisiknya kemudian.
Marsih tersenyum kecil penuh arti, ia sudah mengetahui akan Karso yang tiba-tiba kembali. Dua hari lalu, tepatnya sehari setelah malam pemadaman, dirinya mendapat secarik surat kecil singkat bertuliskan 'Aku kembali, akan terus berjuang, dan tidak percaya'. Jantung Marsih terasa sangat lega membaca kalimat itu, tentu saja ia memahami setiap detail yang Karso berikan. 'Aku kembali' memiliki makna, aku masih sehat dan jangan khawatir. 'Akan terus berjuang' berarti, aku tidak menyerah dan akan terus melawan. Dan yang terakhir, 'tidak percaya' bermakna, kalau pria itu juga tidak percaya dengan pihak Jepang. Ini semua sudah membuktikan dugaan Marsih pada Karso yang sukar untuk dibunuh. Sebuah surat yang singkat namun menjelaskan segala pertanyaan Marsih akan dirinya.
"Ah, benarkah dia kembali?" tanya Marsih berpura-pura tak percaya, menyembunyikan raut wajahnya dengan sebuah tatapan penuh keluguan.
"Iya, Nyai. Dia katanya malah terlihat memimpin rakyat kembali di pemberontakan ini, dan katanya lagi ...."
"Apa?"
"Jepang mempersenjatai rakyat, Nyai. Mereka benar-benar membantu kita! Mereka juga telah mengambil aset para orang londoe!" lanjut Darmi dengan semangat, ia tersenyum berseri-seri seakan sangat menyukai kabar yang satu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐚𝐫𝐬𝐢𝐡 - [Tamat]
Historical FictionBerkisah tentang seorang gadis bernama Marsih, hidupnya yang sengsara membuat hati Marsih tegar akan segala cobaan yang selalu menerpa hidupnya. Tak terkecuali ketika sang ibu menghembuskan nafas terakhir, ia hanya dapat menguburkan sang ibu dengan...