45. Talking To The Moon

2K 177 7
                                    

Hari perayaan toko, serta miladnya Yohana dilaksanakan malam ini. Suasananya cukup meriah, dan tentu saja Neraca pun ikut serta bersama Oma. Namun, jika mengingat kejadian waktu lalu, ia yang bersitegang dan sempat melihat Zico di sekolah, membuatnya tak tenang. Ia juga merasa bersalah, entah perasaan ini benar atau tidak, yang jelas, Neraca hanya berpikir perlu meminta maaf terhadap sang tunangan.

Neraca menyusuri sekitar, gadis itu berani bertaruh bahwa kedatangannya ini tak begitu dihiraukan Damai, atau mungkin pria itu tak menyadari kehadirannya, ya? Biasanya, jika netra sayunya itu menangkap sosok Neraca, entah di kejauhan sekalipun, Damai pasti langsung bersikap tengil, melambaikan tangan sok keren, memberikan senyuman paling lebar sedunia. Neraca kadang merasa risih, jika senyuman itu bisa membuat mulutnya sobek tak terarah. Damai yang biasanya pasti bertindak konyol dan gila, tapi mengapa malam ini, ia ... terlihat lebih pendiam dan sedikit tertekan.

Gadis itu menghela napas, sepertinya acara perayaan ini pun sudah mulai usai. Mengambil minum di meja, gadis itu beranjak keluar halaman. Neraca menyalakan rokok, menghirupnya dalam lalu bersandar, ia mengadah, dilihatnya langit yang cukup terang lantaran bulan.

"Hambar." Katanya pelan, berjongkok lalu membuang rokoknya. Padahal ia mulai mengurangi dosis obatnya, tapi sekarang Neraca justru menyiksa tubuh dengan kembali menyesap asap tersebut. Ia akui, gadis itu tak begitu menyukai zat nikotin itu, namun kadang sesekali ia melakukan kebiasaan buruk, jika hatinya mulai kosong seperti sekarang. Neraca bimbang, gadis itu ingin sekali berbicara kepada Damai, namun bingung ingin memulai dari mana. Lagipula hubungannya berstatus apa? Rasanya banyak sekali pertanyaan yang ingin ia tanyakan. Malu sekali, mengaku paling tersakiti, tapi nyatanya, ia sama sekali tak mengenal kekasihnya.

"Aca..." Gadis itu mendongak, matanya membola melihat Damai yang sedang memandanginya dengan kerutan- heran di dahinya. "Kamu datang?"

Gadis itu segera beranjak, ia menepuk gaunya lalu menginjak rokok yang ia buang- sengaja menutupinya agar Damai tak melihat.

"Kenapa kamu gak masuk?"

"Anu-" Kerutan itu semakin lebar saja, Neraca menghela napas seraya membuang muka, wajahnya justru memerah. "Bisa bicara sebentar?"

***

"Jadi ... mau ngomong apa?" Mereka pergi ke taman kompleks. Kaki gadis itu mundur, memberi ancang-ancang agar ia bisa melambuang tinggi di ayunannya. Neraca tak ingin segera menjawab, ia menoleh, mengintip sedikit celah wajah Damai yang sedikit terang terkena cahaya rembulan. "Jangan tinggi-tinggi, Ca. Nanti jatuh." Pria itu tak ikut bermain, ia hanya diam duduk di ayunannya.

"Oh, iya. Kamu pasti udah ngomong sama Mama tentang hubungan kita. Jadi, jawaban Mama gimana, dia setuju?"

"Aku gak bilang." Katanya berbarengan dengan suara decitan ayunan, Damai sedikit tak mengerti apa maksudnya.

Hening sesaat.

"Bulannya terang, ya?"

Damai mengadah, pria itu mengangguk- singkat. "Hm. Indah, terang juga."

"Anu-"

Damai kembali memfokuskan atensinya terhadap Neraca. "Iya, kenapa?"

"Dingin, ya?" Katanya sok asik, Damai justru semakin heran di sana.

"Iya, dingin. Mangkanya cepet mau ngomong apa? Jangan kelamaan di luar nanti kita masuk angin."

Hening lagi. Damai mulai jengkel, kakinya lama-lama terasa kesemutan, ia tak tahan dengan suhu malam ini yang memang benar-benar dingin.

"Aca-"

"Aku minta maaf." Ucap Neraca tak niat, Damai menoleh masih dengan kerutannya. "Aku salah, aku emang egois."

Am I ? (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang