4. Fear

4.5K 423 29
                                    

WARNING! Dilarang ice mosi, namun dianjurkan untuk kalian memaki😁

Happy reading hihihi ..

***

Lagi. Tidak bisa dihubungi.

Lagi. Serasa hilang bak ditelan bumi.

Lagi. Entah Glenn memang sengaja menjauhi, lalu akhirnya memilih pergi.

Lagi.. Neraca takut delusi ini nyata dan perlahan membuatnya mati.

Neraca merasa. Tentu wanita itu sadar jika kekasihnya tak seperti biasanya. Begitu aneh, atau mungkin pria itu mencoba berubah? Bukannya tak suka jika Glenn berubah demi kebaikan, hanya saja Neraca merasa ada yang hilang saja. Glenn nya sekarang cenderung menerima begitu saja. Tak ada protesan lagi, tak ada yang memaksa jika Neraca tak bisa menjalankan janji, Glenn juga akhir-akhir ini jarang menemui. Lalu, entah perasaan dari mana asalnya, yang jelas.. Neraca merasa waktu Glenn kini terbagi.

Neraca berhenti melangkah, wanita itu mengatur napas demi menghindari kecemasan berlebih yang nanti berakhir menjadi depresi lagi. Menepuk pelan pipinya, Neraca berinisiatif untuk menemui Glenn pagi ini.

"Aku bawa bekal." Bibir pucat itu bergumam pelan, "udah jarang juga aku gak sarapan bareng Glenn di taman." Menyorot kotak bekal yang dibawanya, Neraca menghela napas kemudian kembali mempercepat langkah kaki.

Aneh. Mengapa wanita itu merasa resah sekali.

Kembali mengambil napasnya. Neraca sejenak menutup mata saat menyadari tubuhnya tremor di sana. Cepat. Cepet. Cepat. Itu sedari tadi yang Neraca gumamkan. Peluh sudah mengucur deras di sekitar pelipisnya, Neraca semakin tak sabaran berjalan menuju kelas Glenn yang berada di ujung lab bahasa, karena tak melihat sekitar dengan jelas, wanita itu mendesis lantaran tersandung lalu jatuh ke sisi kursi yang disediakan di depan ruangan perpustakaan.

"Aww!" Meringis sakit, Neraca mengusap dahi yang tadi menubruk kaki kursi. Siswa yang kebetulan lewat hanya menoleh sekilas, menatap aneh Neraca sejenak, siswa itu pun tak lama kembali melanjutkan langkah.

Neraca mengepalkan kedua tangan. Selalu. Selalu seperti itu sikap mereka. Mustahil memang jika Neraca diperlakukan layak seperti teman-temannya, untuk mendekat saja mereka enggan apalagi untuk menolong seperti yang tadi Neraca harapkan.

Wanita itu tersenyum kecut menyadari bahwa lingkungannya memang begitu kejam terhadap dirinya, segera beranjak di sana, Neraca membersihkan sekilas pakaian lalu mengambil kotak bekal yang terlempar jauh di ujung sana.

"Glenn.." Neraca memicingkan mata saat netranya menangkap sosok yang tak asing lagi di matanya. Terlihat di sana Glenn berjalan dengan sangat tergesa-gesa, rambutnya berantakan, kemejanya pun sengaja dikeluarkan. Sampai akhirnya ada satu hal yang muncul di benak menjadi pertanyaan, saat Glenn berbelok arah, Neraca hanya menatap kosong punggungnya. Ada apa sebenarnya? Mengapa pria itu memasuki kelas 10IPA tiga lagi.

Tidak mungkin 'kan?

Glenn lupa tapi selalu berkali-kali.

***

Glenn menggila. Pria itu benar-benar memupuk banyak amarah. Apa sebenarnya yang diinginkan wanita itu? Mengapa Fanny selalu membuat beban Glenn semakin menumpuk. Dasar kekanak-kanakan, Glenn sudah benar-benar muak terhadap Fanny yang selalu mengancam melukai dirinya sendiri jika pria itu ketahuan masih memperlakukan istimewa Neraca dan tak kunjung meresmikan statusnya. Tapi, untuk sekarang Glenn tak akan diam. Untuk masalah yang sudah-sudah pasti Glenn akan mentoleransi seperti biasanya. Namun, jika sudah berhubungan dengan wanitanya Glenn tidak akan terima, Glenn akan sangat murka, jika benar wanita jalang itu tak main-main dengan ancamannya. Glenn itu menyeramkan. Pria itu tak segan membunuh jika ada yang macam-macam terhadap Neraca, menggores luka walau hanya secuil saja. Glenn akan gelap mata, pria itu tak pernah bercanda dengan tindakannya, pria itu tidak peduli walau yang melakukannya itu Fanny yang notabennya wanita yang tak akan pernah ia tinggalkan.

Fanny
Temui aku sekarang, atau aku nekad bikin kamu gak akan ketemu lagi sama si Neraca!

Glenn mengetatkan rahang, pria itu berjalan dengan jiwa kesetanan, mendorong kasar pintu di depannya, seluruh penghuni pun tertegun saat melihat rupa Glenn yang terlihat menahan murka saat memasuki kelasnya, 10IPA tiga.

"Lo ini kenapa?" Kata Glenn to the point seraya menatap tajam Fanny. Sungguh, Glenn benar-benar sedang menahan murkanya kini. "Kenapa lo selalu cari masalah, hah?!"

Fanny menelan saliva gugup. Wanita itu tak menyangka jika Glenn bisa semurka ini hanya karena ia mengancam akan melukai Neraca. "Kamu yang kenapa, Glenn?!" kata wanita itu tak ingin kalah, sementara matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa kamu ngehindari aku, hah!?"

Glenn berkedip. Tatapan pria itu menyorot tidak percaya siluet di hadapannya kini, mengapa Fanny sekekanak-kanakan begini sih? Wanita itu mengancam hanya karena sadar telah dijauhi. Astaga! Glenn benar-benar pening.

"Fanny!" Glenn memanggil gemas, urat-urat di leher pria itu terlihat jelas karena Glenn sedang menahan emosinya yang siap meledak, jika saja yang di hadapannya ini bukan wanita, Glenn pasti tak akan berpikiran dua kali untuk mengajar saking kesal terhadap sikapnya. "Aku gak ngehindari kamu, aku cuma sibuk."

Mengusap air matanya yang tumpah, Fanny pun akhirnya mendongak demi melihat rupa Glenn yang di matanya selalu saja menawan. "Kapan kamu putusin dia?" kata Fanny lelah, wanita itu mengeluh pada Glenn yang tak kunjung memberinya kepastian. "Aku capek, Glenn. Aku muak jadi selingkuhan yang setiap hari pasti selalu main kucing-kucingan!"

Glenn menghela napasnya. Pria itu juga sebenarnya lelah harus menyimpan kebohongan ini lebih lama. "Aku mau secepatnya kamu resmikan hubungan kita." Glenn memejamkan mata rapat, kemudian tangannya terulur demi memijit pelan pangkal hidungnya. Glenn mendadak pening jika Fanny sudah membahas hubungan mereka seperti yang dilakukan wanita itu sekarang.

"Aku pasti putusin Neraca." Ucap Glenn mencoba meyakinkan. Setengah hati sebenarnya pria itu berucap demikian. "Secepatnya juga aku pasti resmikan hubungan kita di sekolah."

"Tapi, kapan?" todong wanita itu cepat, Fanny tak ingin menunggu lebih lama. "Kapan Glenn, kapan?" kembali Fanny berucap tak sabaran.

"Sabar." Fanny mendesah kasar, wanita itu bosan harus terus bersabar. "Kamu harus sabar Fan-"

"Gak!" potong wanita itu cepat, Glenn mendesis tertahan menyadari semua masalahnya yang tak kunjung usai. "Buang Neraca, Glenn! Inget, status kita di masing-masing keluarga sudah bertunangan. Aku sudah cukup sabar!"

"Tunangan?"

Semua mata menoleh. Glenn menajamkan pendengaran saat sadar ada suara lain yang ikutan berbicara. Suaranya parau, nadanya begitu lemah. Sungguh, suara ini mengingatkannya kepada-

Menoleh dengan cepat, Glenn tertegun melihat sorotan mata yang selalu binar melihatnya, kini berubah redup menggambarkan bahwa wanita itu benar-benar kecewa. Tuhan ... Glenn serasa tak bernyawa.

"Neraca.."

***

Am I ? (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang