44. Sorry

2K 168 5
                                    

Menjelang ujian akhir sekolah, teman-teman Damai terlihat serius mempersiapkan diri. Di kelas, suasananya terasa sepi sekali, Samudra dan Nilon terlihat lebih pendiam dari biasanya.

Damai menegakan posisinya, pria itu berkedip menyadari Cakra yang tak terlihat batang hidungnya, ingin bertanya, namun pria itu mengurungkan niat, sebab kedua temennya terlihat murung dan mungkin masih merasa galau dengan kejadian cintanya yang kandas di tengah jalan.

Dengan tanpa dosa, Damai cekikikan. Merasa bosan juga, pria itu akhirnya pergi meninggalkan kelasnya.

"Buat kamu." Gadis itu berkedip, mencoba melihat seseorang yang mengulurkan sesuatu ke mejanya. "Datang, ya?"

"Apa ini?"

"Udangan ulang tahun sekalian syukuran toko milik Mama."

Neraca mendesah, gadis itu mencoba mendorong kembali benda itu dari mejanya. "Damai, kamu belum bilang tentang hubungan kita ke Tante Hana?" Damai terdiam, sengiran pria itu perlahan memudar. "Stop berlagak bodoh. Bohong kalau aku gak ngerasa sakit dengan sikap kamu ini. Aku gak tahu apa yang sedang kamu rencanakan. Yang jelas, aku mohon ... berhenti, Damai." Lanjutnya seraya menatap lekat iris sayu Damai. Diam-diam tangan pria itu mengepal- erat. Suasana di antara mereka mendadak tegang.

"Berhenti?"

"Kamu jelas tahu maksudku, Damai."

"Kenapa?" Ucapnya serius, Neraca meremas jemarinya lalu menunduk dalam. "Kenapa cuma aku yang harus tahu dan mengerti tentang kamu, Neraca?"

Gadis itu mendongak, netra keduanya bertemu dalam sesaat. "Kamu pikir aku juga gak ngerasa sakit?" Damai tersulut emosinya, Neraca berkedip- mencoba bergeser dari tempatnya. "Kamu pikir diragukan oleh tunangan sendiri aku gak ngerasa frustasi?!"

Deg.

"Kamu egois." Cerca pria itu penuh penekanan. "Selama ini kamu selalu yang merasa tersakiti. Kamu gak pernah sedikitpun ngerti perasaan aku juga. Atau jangan-jangan, memang kamu gak pernah ada perasaan selama ini samaku, Ca?"

Deg.

"Kamu cuma mentingin perasaan kamu sendiri. Sedangkan, kamu gak pernah mencoba memahami perasaan orang lain." Gadis itu mengerjap, tangannya tiba-tiba bergetar hebat. "Apa kamu pernah takut ada yang terluka dengan berakhirnya hubungan kita? Aku cuma punya Mama, Ca. Mama satu-satunya cahaya dalam hidup aku. Aku gak bisa nyakitin dia, dengan bilang hubungan kita telah usai. Dia pasti kecewa."

Kini, giliran Neraca yang terdiam. Ia baru sadar, ternyata selama ini, Neraca begitu buruk di mata Damai. Selama ini apa dia pernah berpikir, marahnya Damai itu karena ia juga sama terluka. Ia meragukannya? Gadis itu tak percaya terhadapnya? Neraca tanpa sadar telah menyakiti perasaan tulusnya. Lalu dengan bodohnya, ia justru mengaku cinta dan mengaku paling tersakiti dengan adanya orang ketiga, sedangkan selama ini, ia tak mau mengerti apapun tentang kekasihnya. Benar-benar egois dan kejam.

Tanpa sadar air matanya keluar. Gadis itu mendongak, menatap lekat pria di hadapannya yang tersenyum guyon- mengindari tatapan langsung darinya. Damai ... kecewa?

"Aku-"

"Sebaiknya kamu yang bilang sama Mama. Datang dan akhiri hubungan kita." Sekali lagi, Damai menyodorkan kertas undangannya. Neraca ingin berucap sesuatu, namun tertahan saat pria itu langsung berbalik arah tanpa mau mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu. Damai beranjak pergi dari kelasnya. Gadis itu menghela napas kasar, mengapa ... dadanya terasa nyeri, Tuhan?

Apa ... Neraca sudah benar-benar keterlaluan?

"Damai..."

Saat gadis itu segera beranjak demi menyusul kekasihnya, Neraca tertegun, di koridor Damai justru terlihat bersama dengan seorang pria dewasa.

Am I ? (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang