1. Expelled

7.7K 520 50
                                    

"Anak itu harus keluar dari rumah ini secepatnya, Pa!"

Doni. Pria berusia tiga puluh lima tahun itu menghela napas, melepas kaca mata kerjanya sejenak, pria tua itu kembali menatap wajah istrinya mencoba untuk meminta pengertian. "Tapi, Aca anak aku, Ma."

"Mama gak peduli!" Doni mengusap frustasi wajahnya. Milla acuh, wanita itu tak peduli dengan dilema yang dirasakan suaminya. "Sekarang, Papa harus memilih. Pilih aku istrimu atau anak yang selalu bawa sial itu?"

Doni bingung. Mengapa sampai detik ini istrinya masih belum bisa menerima anaknya dari pernikahannya terdahulu, Doni harus bagaimana sekarang? Tidak mungkin pria tua itu tega membuang darah dagingnya. "Ma, tolong mengerti. Aku gak mungkin pilih diantara kalian begini."

"Aku sudah cukup mengerti!" Milla menggebrak meja, wanita itu sudah muak melihat suaminya yang tak pernah tegas mengambil keputusan, "selama ini aku sudah cukup menerima dia tinggal dalam satu rumah kita."

"Ya, itu karena Aca gak punya siapa-siapa lagi selain Papa, Ma.." Doni melirih, pria itu beranjak demi menghampiri istrinya. "Tolong mengerti.. dia masih tertekan di tinggal ibunya, kalo aku minta dia pindah sekarang, Aca pasti.. merasa terbuang."

Milla tak bereaksi lagi. Wanita itu bungkam saat Doni mengambil pergelangan tangannya untuk di genggam. "Beri aku waktu," Doni mengecup punggung tangan Milla beberapa detik. "Aku memilihmu. Aku.. pasti suruh Aca pergi dari rumah."

Milla menoleh tak percaya, lalu tertegun saat melihat netra suaminya basah. Doni tak ada pilihan. Pria itu terlalu cinta terhadap istrinya, lagipula Milla sedang mengandung buah cintanya juga. Pria itu tak ingin mengambil resiko, ia takut jika tak menuruti perintah istrinya, Milla dan janinnya nanti dalam masalah.

Sementara itu, di sisi lain ruangan. Neraca tersenyum kecut dengan air mata turun membasahi pipinya. Benci. Benci. Benci. Setiap hari perasaan itu memupuk dalam di ruang hatinya yang perlahan menghitam. Neraca tak ada tempat, wanita itu akan dibuang oleh ayah kandungnya, apa ia menyusahkan? Sampai ayahnya sendiri pun memilih pergi untuk menjauhinya.

"Glenn.." Neraca melirih menyebut nama kekasihnya, Glenn adalah satu-satunya orang yang ia percaya di dunia, "saat ini aku cuma punya kamu," Neraca terisak sambil membekap kuat mulutnya. "Jadi, tolong bawa aku pergi jauh."

Oh Tuhan. Mengapa kenyataan ini sungguh pelik menghantam hidupnya.

***

Neraca berjalan pelan di sekitar koridor sekolah. Jiwa serta pikirannya terasa kosong nan hampa, wanita itu terlihat tak begitu baik suasana hatinya, Neraca dari semalam tak bisa tidur pulas, wanita itu terlihat tertekan mengingat percakapan ayah dengan ibu tirinya.

Ia akan dibuang?

Neraca tersenyum kosong saat sekelebat bayangan ayahnya berbicara bahwa benar pria tua itu tak pernah memilihnya, miris sekali memang. Tapi, masa bodoh juga. Sejak awal wanita itu memang tak pernah peduli dengan pria yang mengaku sebagai ayahnya tersebut. Doni memang bajingan, pria itu memang dari dulu sudah menyia-nyiakan hidup dirinya dengan ibunya, dan sekarang saat ibunya meninggal pun pria itu masih tega ingin tetap membuangnya. Di pikir-pikir tak ada kebahagiaan selama hidup dengan pria tua itu juga, jadi Neraca benar-benar tak peduli terhadap dirinya.

Neraca hanya peduli pada Glenn Daxalle Johan. Kekasih yang ia pacari saat mereka masih menduduki bangku SMP kelas dua. Glenn begitu pengertian, pria itu selalu memberikan cinta setiap harinya, Neraca selalu beranggapan bahwa Glenn adalah hidupnya. Wanita itu tak tahu bagaimana nasibnya kelak, jika nanti Glenn justru memilih pergi juga meninggalkannya.

Neraca.. mungkin akan mati jika suatu saat Glenn malah mengkhianatinya. Karena sampai kapanpun, wanita itu tak bisa apa-apa tanpa Glenn yang terus berada di sampingnya.

"Ner.."

Wanita itu menoleh saat hendak berbelok ke arah kelasnya. Glenn keluar dari salah satu ruang kelas, mengembangkan senyum hangatnya di sana, Neraca menyorot lekat Glenn yang tengah tersenyum juga ke arahnya.

Tapi, mengapa kelas 10IPA tiga? Bukankah kelas Glenn itu 10IPS satu, ya?

Kok Glenn bisa berkeliaran disekitaran anak IPA? Apa benar gosip yang mengatakan bahwa kekasihnya ini-

"Happy anniversary yang ke tiga tahun, Ner." Glenn tersenyum lebar sambil menunjukan liontin cantik di tangannya, "aku tadi cari kamu ke kelas, tapi gak nemu. Eh, ternyata.. aku salah ruangan, aku kira kamu kelas 10IPA tiga padahal kamu 'kan 10IPA satu, ya?" pria bermata minimalis itu terkekeh garing seraya menggaruk tengkuknya asal. Glenn, sungguh kentara terlihat salah tingkahnya.

Neraca mengerutkan dahi. Menatap bergantian antara wajah Glenn dan liontin di hadapannya, perlahan Neraca menghembuskan napas lega. Lihat, Glenn hanya tengah mencarinya, mengapa ia begitu bodoh hampir kemakan gosip murahan yang mengatakan bahwa kekasihnya ini menjalin hubungan dengan wanita lain.

"Ner.." pria itu memiringkan kepalanya, Glenn bingung karena Neraca sedari dari tadi hanya diam saja. "Kamu gak apa-apa?" wanita itu mengerjap, tak terasa bulir bening sudah membasahi pipinya.

"Glenn.." ucap Neraca parau, wanita itu terisak karena tak kuat menahan sesak yang menghimpit dada. "Bawa aku pergi jauh, Glenn.."

Glenn tersenyum mengerti. Pria itu mengangguk kecil sembari mendekap Neraca sang kekasih. "Kamu gak sendirian," kata Glenn menenangkan, "masih ada aku disini yang selalu ada buat kamu, Neraca."

Glenn memejamkan mata rapat. Pria itu menghela napas berat, menoleh ke arah kelas di hadapannya, Glenn tersenyum canggung saat netranya saling menumbuk dengan wanita yang berada di daun pintu 10IPA tiga. Wanita itu Fanny, kekasihnya juga.

"Maafin aku, Ner.." gumam Glenn dengan perasaan bersalah, beberapa detik selanjutnya Glenn mengecup sayang surai wanita yang sudah menemaninya selama tiga tahun belakangan.

Yaa, kenyataannya memang Glenn justru yang paling bajingan.

***

Dukung cerita dengan meninggalkan vote dan komentar.

Am I ? (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang