19. Sacrifice

2.4K 214 5
                                    

Mau ngasih tau aja, dichapter 20 mungkin akan break bentaran sampai jumlah readers mencapai 1k. Horeee, kalean akan nunggu lama horeee👏👏

Happy reading♡♡

***

Empat tahun yang lalu..

Pria berseragam biru putih itu menunduk dalam, kesepuluh jarinya ia remas dengan tubuhnya yang nyaris basah oleh keringat. Pria itu mendongak, meringis sesak saat suara jeritan gadis menggema lantang di pendengarannya.

Ia menggigit bibir bawahnya. Pria yang masih kelas 7 Sekolah Menengah Pertama itu mengepalkan tangan kuat, dengan amarah yang memenuhi dada dengan kuat pula ia meninju tembok di hadapannya bagai samsak.

BUGH!

Ini salahnya.

Ini kecerobohannya.

Kalau saja ia bisa lebih kuat menjaganya. Pasti kejadian hina itu tak akan menimpa seorang yang begitu ia kasihi sejak awal.

"Bajingan!"

Mengapa ini harus terjadi kepadanya? Mengapa Venus.. harus malang menerima nasib diperkosa beberapa pemuda dewasa. Yang lebih biadabnya, Samudra menyaksikan sendiri adegan tak senonoh itu di depan matanya. Tak ada yang lebih menyakitkan. Selain melihat gadis yang dicintainya meminta pertolongan, namun ia tak kuasa, sebab Samudra tak bisa berbuat apa-apa.

"Maafin aku. Maafin aku. Maafin aku." Samudra SMP terisak kencang, jari-jari tangannya perlahan mengeluarkan darah segar. Ia berjongkok, tak perduli dengan tatapan orang-orang yang melewatinya. "ARRRRRGGHH!!"

Pintu ruangan inap gadisnya terbuka, Samudra menoleh kilat saat melihat orangtuanya berwajah kusut dengan tubuh lunglai. Pria berseragam lusuh itu bergerak cepat, Samudra berlari kencang sebab melihat Venus dibawa dengan keadaan tak sadar.

Deg.

Jantung Samudra berdegup kencang. Namun, saat tangannya hendak menggapai sang gadis pujaan yang tengah terlelap, ia mendongak saat pergerakannya ditahan oleh Arumi- Bunda Venus, kekasihnya.

"Kamu sudah buat saya kecewa." Samudra menggeleng cepat, air mata sudah tidak bisa ia tahan. "Jangan pernah mengaku kuat, kalau kamu masih tidak bisa menjaga anak saya!"

Samudra memejamkan mata rapat. Kesalahan di masa lalu sudah tega membuatnya kehilangan. Kalau saja dulu ia lebih kuat, pasti mereka tak pernah dipisahkan.

Memang, sejak insiden empat tahun lalu itu. Hidup Samudra mendadak kelam. Bayang-bayang dirinya yang bagai pecundang semakin terasa saja, saat keluarga Venus memutuskan pindah ke luar kota lalu menutup komunikasi di antara kedua keluarga tersebut yang sejak dulu sudah bersahabat hangat.

Entah mengapa semenjak kejadian itu, Arumi- bunda Venus mendadak membenci mereka, Samudra serta keluarganya. Padahal, insiden tersebut tak pernah disangka sebelumnya. Dan Samudra juga tak pernah tahu jika ajakan kencan malam itu akan berakhir tragis dengan membuat hidup kekasihnya berantakan. Jauh di lubuk hati terdalamnya, pria itu jelas yang paling terluka serta trauma. Bayangkan saja, pria yang kala itu masih berusia tiga belas tahun harus menerima pukulan-pukulan mematikan dengan menyaksikan orang terkasihnya diperlakukan semena-mena bagai hewan.

Jadi.. mengapa hanya Samudra yang disalahkan?

Mengapa Samudra dihakimi, sebab tak bisa menjaga diusianya yang bahkan kala itu masih sangat belia untuk sekedar melawan?

Samudra sudah mati-matian. Tapi, mengapa masih tetap dihukum dengan dijauhkan dari sang pujaan?

Apakah ini bentuk keadilan? Saat Samudra yang juga terluka, harus terpaksa  menjadikan orang lain yang tidak tahu apa-apa harus merasakan sama penderitaan.

"Kali ini.. aku bakal beneran berkorban." Samudra menoleh, menatap lembut siluet cantik di sampingnya yang tengah terlelap. Tak ada perubahan yang signifikan, Venus tetap saja cantik di matanya. "Aku kangen banget sama kamu, Ve."

Samudra tertawa hambar, ujung matanya terlihat basah. Perlahan tangannya terangkat, namun tertahan di udara. Sebab, lagi-lagi suara itu menggangunya.

Jangan pernah mengaku kuat, kalau kamu masih tidak bisa menjaga anak saya!

Samudra menggigit bibir bawahnya, lalu kembali menarik tangan. "Benar-benar menyebalkan." Katanya seraya berdacak muak.

***

Neraca menutup kasar novel yang tengah dibacanya, merasa terganggu sebab sedari tadi pria di sampingnya ini tak mau diam. Gadis itu lalu mendelik tajam saat wajah tengil itu justru tersenyum tanpa beban. Apa Damai selalu seperti itu, ya? Setiap ketahuan usil, pasti pria itu akan pura-pura memasang wajah lugu tanpa dosa, seolah tadi tidak pernah malakukan tindakan yang membuat Neraca kesal.

"Kenapa, Nang?"

Neraca mendengkus samar, tak ambil peduli ia kembali melanjutkan kegiatan membacanya sembari kembali menunggu Dokter Reno yang tak kunjung menunjukan batang hidungnya.

"Nang, aku bosan." Neraca menoleh mendengar rengekan manja sang tunangan. "Udah satu jam lebih loh ini, jadi dateng gak sih?"

Gadis itu melihat alroji di pergelangannya, merasa bersalah juga karena harus melibatkan Damai dikegiatan konsultasinya. "Kita tunggu 30 menit lagi, kalo Dokter pribadi aku belum juga dateng ke sini kita terpaksa pergi. Sambil nunggu, kamu makan dulu aja, gih."

"Udah abis."

Neraca meluruskan pandangan, lalu kembali melihat Damai yang juga sedang memandanginya seraya nyengir seperti biasa. "Yaudah tinggal pesen lagi."

"Gak ada duit, hehe."

"Aku yang bayar."

"YEEEYY!" Neraca mencebik saat Damai berseru riang, pria ini terlalu kekanakan. "Gitu dong peka, Nang. Inget ya, uang istri itu uang suami. Uang suami, ya bukan uang istri." Damai kembali terbahak, lalu santai memanggil pelayan, pria itu terlihat masih sangat kelaparan.

"Nanti uangnya aku ganti. Duh, makin sayang kamu, deh." Neraca bergidik saat Damai membentuk hati dengan kedua tangannya. "Saranghae."

Neraca tak menghiraukan, gadis itu kembali melanjutkan acara membacanya. Dengan bibir yang sedikit melengkung geli, Neraca di posisinya pura-pura tuli.

"Ih bales dong, Nang." Damai protes, pria itu menggoyangkan pelan tubuh mungil di sampingnya. "Nang. Nang. Nang. Nang-Neng-Nong-Nang! Nang-"

"Apa sih?!"

"Saranghae." Wajah Neraca mendadak merah, Damai semakin menggodanya dengan memberikan gerakan kiss bye. "Saranghae, eonni."

"Hm-" Neraca pura-pura bersikap tenang, berbanding terbalik dengan dentuman keras yang dirasakan jantungnya. "Hm.. maksudnya itu makanan kamu datang."

Damai cemberut. Kemudian mengalihkan pandangan saat merasakan kedatangan seorang pelayan. Bernapas lega, Neraca tersenyum kecil memperhatikan Damai yang sedang menyantap rakus makanannya.

"Aca!"

Neraca menoleh kilat, sunggingannya terbit saat netranya menangkap pria dengan stelan jas putih sedang melambaikan tangan ke arahnya. Berdiri dengan tergesa, Neraca menepuk punggung Damai yang tadi sibuk makan. Pria itu pun mendongak- matanya sedikit membola saat melihat Dokter pribadi tunangannya ternyata-

"Dokter Chand?"

"Giovand-"

***

Banyak suprezZz, gengs. Maafkeun ya, tokoh di sini emang pada gila😂

Am I ? (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang